sumber |
Jika sudah menjadi mahasiswa apa yang
terpikir dalam benak seseorang? Sarjana bukan? Sebuah kelulusan. Cerita saat
memakai toga, berharap menjadi cumlaude, disambut oleh mahasiswa-mahasiwi adik
tingkat, diarak oleh mereka dengan berbagai perayaan? Ya! Benar. Pasti itu yang
terpikir. Sebentar, ada lagi. Tak akan bisa dilupakan. Foto bersama keluarga
dengan background rak buku dengan berbagai warna.
Beberapa bulan yang lalu, saya bersama
teman-teman mengarak kakak-kakak tingkat jurusan Teknik Telekomunikasi yang telah
dinyatakan sebagai Sarjana Sains Terapan memutari kawasan ITS dengan
menggunakan motor, mobil terbuka, dan kereta kelinci. Kebanggaan yang sungguh
luar biasa pada mereka yang sudah lulus. Saya ingin seperti mereka, insyaallah
sekitar 3.5 tahun dari sekarang. Semoga terealisasi.
Setelah perayaan tersebut selesai,
kami kembali ke kampus. Kembali beraktivitas selayaknya mahasiswa lain untuk
mengikuti mata kuliah selanjutnya. Tapi mata tak mau terlepas dari kebahagiaan
yang terpancar dari raut wajah kakak tingkat kami. Mereka berdatangan bersama
keluarga, bersama saudara-saudara mereka. Memakai kebaya, memakai jas, dan
memakai toga.
Imajinasi saya meloncat liar.
Membayangkan saya seperti mereka. Memakai toga. Sebuah kebanggaan tersendiri
karena sudah mencapai garis finish dari suatu babak. Suatu kebahagiaan, namun
juga suatu kesedihan.
Saat saya sudah menjadi sarjana pasti
saya akan menangis. Tangis bahagia pasti ada. Tapi juga akan ada tangisan yang
benar-benar menyayat hati. Tak ada kelengkapan sekitar 3.5 tahun nanti disaat
saya dinyatakan sebagai Sarjana. Tak akan ada pelukan hangat dari seorang ibu,
tak akan ada kecupan kasih sayang dari ibu untuk anaknya, tak akan ada salam
penghormatan dari anak untuk malaikatnya, ibu. Hanya ada pelukan dari ayah dan
adik.
Tak ada ibu yang menemani kami berfoto
bersama. Disebelah kiri dan kanan hanya terdapat ayah dan adik saya. Ya, nanti
kami akan berfoto bertiga, bukan berempat. Tapi, mungkin saja nanti ibu akan
datang, mengucap selamat dari dekat yang hanya bisa saya rasakan kedatangannya
namun tak dapat saya sentuh. Pasti beliau akan tersenyum. Pasti beliau akan
bangga pada putri yang sering kali membuat beliau kecewa.
Ibu, datanglah nanti disaat saya sudah
menjadi Sarjana. Saya sangat mengharap kedatangan ibu. Mengharapkan ucapan
selamat yang tidak dapat saya dengar. Biarkan saya mencium aroma ibu saat ibu
datang di perayaan Sarjana saya. Tampakkan diri sejenak walau hanya 3 detik
dengan wajah tersenyum bangga. Peluklah saya walaupun pelukan itu tak dapat
saya rasakan. Berjanjilah untuk datang saat saya telah mencapai titik akhir
perkuliahan nanti.
Saya menulis cerita ini bukan untuk
mencari perhatian ataupun mengharap belas kasihan dari orang-orang sekitar.
Saya menulis ini untuk mengungkap kerinduan. Salah satu media yang sepertinya
dapat menyatukan saya dengan semua orang yang mempunyai kemiripan cerita
kehidupan. Media untuk mendekatkan saya pada rasa syukur, pada ketabahan, dan
pada keikhlasan.
Untuk kesekian kalinya saya menulis
untuk seseorang yang sangat saya rindukan. Seseorang tersebut tidak akan pernah
kembali ke dunia saya. Ke dunia kita. Tapi masih ada kemungkinan jika nanti
kami berjodoh di akhirat. Semoga saja. Sebab saya sangat merindukan beliau.
Beliau pergi saat saya sudah diterima di Politeknik. Politeknik Elektronika
Negeri Surabaya, yang lebih dikenal PENS atau EEPIS bagi orang-orang di luar
Indonesia. Terimakasih ibu sudah membiarkan saya melanjutkan ke Teknik
Telekomunikasi, bukan Kedokteran. Terimakasih ibu sudah menerima keputusan
saya. Saya tak akan melupakan senyuman ibu di Rumah Sakit saat ibu mengucap
syukur karena saya sudah diterima di bangku kuliah.
Peluklah
saya saat nanti menjadi sarjana.
Datanglah
dan wujudkan diri dengan senyuman hangat.
Terimakasih,
Ibu.
Again and again i love your story dear :)
BalasHapusterima kasih sudah bercerita. Cerita saya kurang lebih mirip denganmu, hanya saya kini masih berharap, berharap setidaknya masih bisa 1 kali lagi merayakan Idul Fitri bersama.
amin ya robbal alamin. semoga harapan itu bisa jadi nyata. terima kasih juga sudah membaca cerita-cerita saya :)
BalasHapusKok aku baca ini (lagi), masih nyesek ya, Bes :"
BalasHapushaha kok dibaca lagi to hap.
Hapus