Laman

Sabtu, 12 Januari 2013

bertahan karenamu


imgfave.com
            Cintaku mendatangimu. Mengoyak kehidupanmu tanpa kamu ketahui. Menghibur lara hati saat tak ada seseorang pun disini, di hatiku. Aku menyukaimu. Sebentar! Mungkin tepatnya aku mengagumimu secara diam-diam. Sepertinya gabungan kata itu maknanya lebih dalam dibandingkan kalimat yang sebelumnya.

            Dia, tipe orang yang pendiam. Berucap saat dirasa penting. Di kelas, kamu tergolong mahasiswa yang jenius. Walaupun kamu lebih suka duduk di pojok dan selalu datang saat beberapa detik sebelum mata kuliah dimulai, tapi otak mu lebih emas dibandingkan mereka-mereka yang merasa sok pintar, yang mengambil hati para dosen. Masa bodoh dengan perlakuan mereka sebab kamu sudah mengalihkan duniaku. Kamu, membuatku kurang peduli dengan orang-orang seperti mereka; sok pintar, sok perhatian, sok baik, dan semuanya yang membuatku muak.

            Sudahlah! Lupakan mereka dan biarkan impuls dalam otakku merambat dari sel saraf satu ke sel saraf yang lain untuk memikirkanmu. Saat ini dan nantinya, aku hanya ingin kamu yang akan memenuhi setiap aliran darah dalam tubuhku.

      Aku mengamatimu dari jauh. Kamu memang terlihat cuek dengan mereka yang sepertinya bermuka dua, dengan mereka yang sok care, dengan mereka yang mencoba mendekatimu dengan cara-cara ajaib, tapi bagiku tergolong aneh dan murahan. Aku yakin, kamu pasti kurang respect dengan mereka yang berkelakuan demikian. Cukup! Biarkan mereka berkreasi sedemikian rupa untuk mencuri perhatianmu.

            “Siapa dia?”

            “Dia?”

            “Iya, mahasiswa yang berhasil membuatmu menjadi diam. Hanya mampu melihat dari jauh dan kamu gak berani mendekatinya.”

            “Ah itu. Hanya ini yang bisa ku lakukan. Aku tak punya cukup energi dan keberanian untuk memulai.”

            “Wanita memang seperti ini. Kalau kamu tidak memulai, bagaimana dia bisa tahu? Dia bukan seseorang yang bisa membaca isi hati orang lain, dia bukan ‘orang pintar’. Sudahlah, cepat kejar!”

            “Aku terlalu gengsi dengan cerita ini.”

            “Kamu sendiri yang membuat cerita, seharusnya kamu juga berani mengambil tindakan biar cerita itu happy ending.”

            “Sudahlah, aku terlalu lemah memikirkan cerita ini.”

            Aku lelah. Tapi itu semua juga salahku. Aku menanti tanpa pernah berani untuk memulai, tanpa pernah berani untuk menyatakan rasa. Terlalu gengsi. Seseorang jika ingin maju harus berani menanggung malu. Tapi sepertinya aku tidak termasuk dalam golongan tersebut, aku terlalu munafik.

            Saat aku dan teman-teman berkumpul, tak jarang dia juga ikut bergabung bersama kami. Entah itu belajar bersama, makan, ataupun bercerita ngalor ngidul. Tuhan memang adil, sikapnya terhadap ku tidak sama dengan sikap yang dia berikan pada fans-fans yang selalu mengumandangkan namanya, Hafiz.

            Hafiz selalu berperilaku baik terhadap kami, berperilaku manis terhadap semua orang yang menganggapnya biasa, bukan luar biasa seperti mereka. Hafiz sering membantu ku untuk mengerti dan paham dengan beberapa mata kuliah, dia menjadi tentor ku. Tentor dengan senyum termanis yang pernah aku temui.

            Saat kami bersandingan, saat kami berada dalam satu ruangan; hanya ada kami berdua, sebisa mungkin aku berperilaku wajar. Tak ingin berlebihan dengan cara bersikap manja.

            “Ikut aku makan, yuk!”

            Aku hanya memperlihatkan mimik shocked. Seperti mimpi, saat dia mengajakku  makan, tanpa teman-teman kami.

            “Kamu kenapa?”

            “Eh apa? Makan ya? Iya, aku mau.”

            “Lucu, saat lihat kamu seperti ini.” Dia tertawa. Melihat manik mataku. Aku terdiam. Membeku. Ada energi lain yang merangkak masuk ke dalam tubuh, membuatku panas dingin.
Aku mencoba mengalihkan pandangan. Salah tingkah. Semoga Hafiz tak melihat perlakuan aneh ini.

            Sampai di tempat makan, kami terdiam. Masih menikmati keadaan yang dirasakan masing-masing dari kami. Keadaan sepi ini malah membuatku nyaman sebab ada seseorang yang ada di sampingku, seseorang yang sudah memutar balikkan dunia ku selama aku kuliah disini. Orang pertama yang mengambil hatiku. Kamu. Sederhana tapi bermakna.

            “Hafiz. Uchi. Kalian disini?”

            “Fiz, cewek yang kemarin gimana?” Sahabat kami yang lain.

            Deg! Aku merasa benar-benar jatuh. Padahal sebelumnya berada di atas menikmati kedamaian yang luar biasa. Kedamaian yang diciptakan oleh kesederhanaan Hafiz. Siapa wanita itu? Apakah aku mengenalnya? Berharap pertanyaan itu akan menemukan pendampingnya; jawaban.

            “Oh yang kemarin? Anak kelas sebelah yang diliatin terus sama Hafiz?” Wisnu perlahan membuka jawaban yang sejak tadi memenuhi sel-sel dalam otakku.

            Aku masih diam. Melihat ekspresi seseorang yang ada di depan ku. Berbeda. Matanya, perilakunya, mimik wajahnya. Semua berubah drastis saat Wisnu menyebutkan “wanita kelas sebelah”. Siapa dia? Aku tak bergerak. Mulut tak berucap. Mata hanya menatap pada satu titik.

            “Jangan lama-lama kalo mau nembak.” Ucap salah satu sahabat kami yang lain. Tempat itu ramai dengan 5 pria, yang menggoda salah satu dari mereka.

            Mereka tergelak oleh lelucon yang tercipta. Hati rasanya perih. Saat mereka tertawa, terpaksa aku juga mengikuti irama tawa mereka. Biarkan aku menyembunyikan ini. Merasakan kesakitan yang luar biasa dalam. Tuhan pasti adil. Tuhan pasti tak mau melihat ku seperti ini. Sengsara.

            Esoknya, Wisnu datang saat aku berada di perpustakaan D3. Dia mengetahui perasaanku terhadap Hafiz. Dia mengerti bagaimana susahnya aku memendam rasa ini.

            “Chi, maaf aku gak bermaksud menyakiti perasaanmu. Aku cuma gak mau kamu terlalu lama mendam perasaan itu. Aku gak mau kamu terlalu sakit. Dia suka sama cewek lain.”

            Aku diam. Berusaha menahan tangisan yang memaksa keluar dari kedua mataku.

            “Cewek itu satu kelas sama Rizki. Tapi Hafiz gak berani buat deketin cewek itu. Cewek yang dia suka udah jadian sama cowok lain. Intinya, dia bakal nunggu sampek cewek itu gak sama cowoknya lagi. Sampai kapanpun Hafiz bakalan nunggu. Itu janjinya.”

            “Siapa?” Suara parauku memenuhi perpustakan yang mulai ditinggalkan beberapa mahasiswa. Mahasiswa yang kencan dengan berbagai laporan.

            “Jadi Chi, please lupain dia. Ada orang lain yang bisa nerima kamu apa adanya. Yang udah suka sama kamu sejak ospek.”

            Aku menoleh. Memperhatikan Wisnu. Dia salah tingkah. Aku menatap matanya. Tajam.

            “Jujur aku suka kamu dari awal, Chi. Tapi setelah aku tahu kamu suka sama Hafiz, aku mulai mengurangi perasaanku. Gagal. Aku gagal ilangin perasaan itu. Kamu memang duniaku.”

            Pengakuan itu muncul dari mulut Wisnu sendiri. Uchi masih diam, merangkai kata-kata yang membentuk kalimat-kalimat.

            “Maaf, Wisnu. Perasaan gak bisa dipaksa. Aku nunggu Hafiz walaupun kemungkinan aku sama dia kecil banget. Yang terpenting aku nunggu dia dulu, seperti halnya dia nunggu seseorang itu.”

            “Ya, aku tahu. Akan ada masa dimana kita bakal bener-bener bahagia walaupun gak sama orang yang kita mau.”

next to masih kamu dan tak akan terganti


2 komentar:

  1. bes, ceritanya dibikin bersambung deh. biar penasaran dikit

    BalasHapus
  2. oke mbak operator, saya tampung dulu. makasih sudah berkunjung :)

    BalasHapus

Tinggalkan jejak sesuai cerita diatas. Semoga bermanfaat.

And thanks for your visiting! :)