imgfave.com |
Cintaku
mendatangimu. Mengoyak kehidupanmu tanpa kamu ketahui. Menghibur lara hati saat
tak ada seseorang pun disini, di hatiku. Aku menyukaimu. Sebentar! Mungkin
tepatnya aku mengagumimu secara diam-diam. Sepertinya gabungan kata itu
maknanya lebih dalam dibandingkan kalimat yang sebelumnya.
Dia,
tipe orang yang pendiam. Berucap saat dirasa penting. Di kelas, kamu tergolong
mahasiswa yang jenius. Walaupun kamu lebih suka duduk di pojok dan selalu
datang saat beberapa detik sebelum mata kuliah dimulai, tapi otak mu lebih emas
dibandingkan mereka-mereka yang merasa sok pintar, yang mengambil hati para
dosen. Masa bodoh dengan perlakuan mereka sebab kamu sudah mengalihkan duniaku.
Kamu, membuatku kurang peduli dengan orang-orang seperti mereka; sok pintar,
sok perhatian, sok baik, dan semuanya yang membuatku muak.
Sudahlah!
Lupakan mereka dan biarkan impuls dalam otakku merambat dari sel saraf satu ke
sel saraf yang lain untuk memikirkanmu. Saat ini dan nantinya, aku hanya ingin
kamu yang akan memenuhi setiap aliran darah dalam tubuhku.
“Siapa
dia?”
“Dia?”
“Iya,
mahasiswa yang berhasil membuatmu menjadi diam. Hanya mampu melihat dari jauh
dan kamu gak berani mendekatinya.”
“Ah
itu. Hanya ini yang bisa ku lakukan. Aku tak punya cukup energi dan keberanian
untuk memulai.”
“Wanita
memang seperti ini. Kalau kamu tidak memulai, bagaimana dia bisa tahu? Dia bukan
seseorang yang bisa membaca isi hati orang lain, dia bukan ‘orang pintar’.
Sudahlah, cepat kejar!”
“Aku
terlalu gengsi dengan cerita ini.”
“Kamu
sendiri yang membuat cerita, seharusnya kamu juga berani mengambil tindakan biar
cerita itu happy ending.”
“Sudahlah,
aku terlalu lemah memikirkan cerita ini.”
Aku
lelah. Tapi itu semua juga salahku. Aku menanti tanpa pernah berani untuk
memulai, tanpa pernah berani untuk menyatakan rasa. Terlalu gengsi. Seseorang
jika ingin maju harus berani menanggung malu. Tapi sepertinya aku
tidak termasuk dalam golongan tersebut, aku terlalu munafik.
Saat
aku dan teman-teman berkumpul, tak jarang dia juga ikut bergabung bersama kami.
Entah itu belajar bersama, makan, ataupun bercerita ngalor ngidul. Tuhan
memang adil, sikapnya terhadap ku tidak sama dengan sikap yang dia berikan pada
fans-fans yang selalu mengumandangkan namanya, Hafiz.
Hafiz
selalu berperilaku baik terhadap kami, berperilaku manis terhadap semua orang
yang menganggapnya biasa, bukan luar biasa seperti mereka. Hafiz sering
membantu ku untuk mengerti dan paham dengan beberapa mata kuliah, dia menjadi
tentor ku. Tentor dengan senyum termanis yang pernah aku temui.
Saat
kami bersandingan, saat kami berada dalam satu ruangan; hanya ada kami berdua,
sebisa mungkin aku berperilaku wajar. Tak ingin berlebihan dengan cara bersikap
manja.
“Ikut
aku makan, yuk!”
Aku
hanya memperlihatkan mimik shocked. Seperti mimpi, saat dia mengajakku
makan, tanpa teman-teman kami.
“Kamu
kenapa?”
“Eh
apa? Makan ya? Iya, aku mau.”
“Lucu,
saat lihat kamu seperti ini.” Dia tertawa. Melihat manik mataku. Aku terdiam.
Membeku. Ada energi lain yang merangkak masuk ke dalam tubuh, membuatku panas
dingin.
Aku mencoba mengalihkan pandangan. Salah
tingkah. Semoga Hafiz tak melihat perlakuan aneh ini.
Sampai
di tempat makan, kami terdiam. Masih menikmati keadaan yang dirasakan
masing-masing dari kami. Keadaan sepi ini malah membuatku nyaman sebab ada
seseorang yang ada di sampingku, seseorang yang sudah memutar balikkan dunia ku
selama aku kuliah disini. Orang pertama yang mengambil hatiku. Kamu. Sederhana
tapi bermakna.
“Hafiz.
Uchi. Kalian disini?”
“Fiz,
cewek yang kemarin gimana?” Sahabat kami yang lain.
Deg!
Aku merasa benar-benar jatuh. Padahal sebelumnya berada di atas menikmati
kedamaian yang luar biasa. Kedamaian yang diciptakan oleh kesederhanaan Hafiz.
Siapa wanita itu? Apakah aku mengenalnya? Berharap pertanyaan itu akan
menemukan pendampingnya; jawaban.
“Oh
yang kemarin? Anak kelas sebelah yang diliatin terus sama Hafiz?” Wisnu
perlahan membuka jawaban yang sejak tadi memenuhi sel-sel dalam otakku.
Aku
masih diam. Melihat ekspresi seseorang yang ada di depan ku. Berbeda. Matanya,
perilakunya, mimik wajahnya. Semua berubah drastis saat Wisnu menyebutkan
“wanita kelas sebelah”. Siapa dia? Aku tak bergerak. Mulut tak berucap. Mata
hanya menatap pada satu titik.
“Jangan
lama-lama kalo mau nembak.” Ucap salah satu sahabat kami yang lain. Tempat itu
ramai dengan 5 pria, yang menggoda salah satu dari mereka.
Mereka
tergelak oleh lelucon yang tercipta. Hati rasanya perih. Saat mereka tertawa,
terpaksa aku juga mengikuti irama tawa mereka. Biarkan aku menyembunyikan ini.
Merasakan kesakitan yang luar biasa dalam. Tuhan pasti adil. Tuhan pasti tak
mau melihat ku seperti ini. Sengsara.
Esoknya,
Wisnu datang saat aku berada di perpustakaan D3. Dia mengetahui perasaanku
terhadap Hafiz. Dia mengerti bagaimana susahnya aku memendam rasa ini.
“Chi,
maaf aku gak bermaksud menyakiti perasaanmu. Aku cuma gak mau kamu terlalu lama
mendam perasaan itu. Aku gak mau kamu terlalu sakit. Dia suka sama cewek lain.”
Aku
diam. Berusaha menahan tangisan yang memaksa keluar dari kedua mataku.
“Cewek
itu satu kelas sama Rizki. Tapi Hafiz gak berani buat deketin cewek itu. Cewek
yang dia suka udah jadian sama cowok lain. Intinya, dia bakal nunggu sampek
cewek itu gak sama cowoknya lagi. Sampai kapanpun Hafiz bakalan nunggu. Itu
janjinya.”
“Siapa?”
Suara parauku memenuhi perpustakan yang mulai ditinggalkan beberapa mahasiswa.
Mahasiswa yang kencan dengan berbagai laporan.
“Jadi
Chi, please lupain dia. Ada orang lain yang bisa nerima kamu apa adanya. Yang
udah suka sama kamu sejak ospek.”
Aku
menoleh. Memperhatikan Wisnu. Dia salah tingkah. Aku menatap matanya. Tajam.
“Jujur
aku suka kamu dari awal, Chi. Tapi setelah aku tahu kamu suka sama Hafiz, aku
mulai mengurangi perasaanku. Gagal. Aku gagal ilangin perasaan itu. Kamu memang
duniaku.”
Pengakuan
itu muncul dari mulut Wisnu sendiri. Uchi masih diam, merangkai kata-kata yang
membentuk kalimat-kalimat.
“Maaf,
Wisnu. Perasaan gak bisa dipaksa. Aku nunggu Hafiz walaupun kemungkinan aku
sama dia kecil banget. Yang terpenting aku nunggu dia dulu, seperti halnya dia
nunggu seseorang itu.”
“Ya,
aku tahu. Akan ada masa dimana kita bakal bener-bener bahagia walaupun gak sama
orang yang kita mau.”
next to masih kamu dan tak akan terganti
next to masih kamu dan tak akan terganti
bes, ceritanya dibikin bersambung deh. biar penasaran dikit
BalasHapusoke mbak operator, saya tampung dulu. makasih sudah berkunjung :)
BalasHapus