Bagaimana
kabar ibu disana? Semoga ibu bahagia sebab kami disini masih dan akan tetap
mengirimkan do’a-do’a terbaik untuk ibu.
Beberapa
hari ini saya memimpikan ibu. Seakan-akan ibu masih ada di samping kami,
menjadi wanita tercantik yang pernah saya temui, sampai kapanpun.
Mempersembahkan kebahagiaan yang tak bisa didapat dari siapapun, yang tak dapat
dicari kemanapun. Hanya satu, dari ibu.
Kemarin,
saya menemukan secarik kertas. Berisikan keinginan saya, mimpi-mimpi saya. Saya
masih ingat, kertas itu adalah sebuah surat yang saya khususkan untuk ibu. Surat
pertama dan terakhir untuk beliau. Saya tak berani untuk menyampaikan secara
langsung perihal apa saja yang saya inginkan, sehingga saya harus menulisnya
agar pesan itu benar-benar tersampaikan, tanpa ditutup-tutupi. Setelah surat
itu beliau baca, beliau mengungkapkan “Ibu juga ingin seperti ibu-ibu yang
lain, yang bisa dekat dengan anaknya.” Saat itu juga, saya ingin menangis.
Sungguh tak ada keberanian untuk menatap beliau, apalagi memeluknya. Saya hanya
diam, mengangguk, dan pergi untuk menangis. Betapa bodohnya saya tidak bisa
menggunakan kesempatan itu dengan baik.
Banyak
cerita yang dapat membuka kerinduan saya. Saat teman-teman menceritakan tentang
ibunya, saat mereka mempunyai masalah dengan ibunya, kerinduan saya selalu
terbuka padahal saya sudah mencoba untuk menutup kerinduan itu. Rasa rindu yang
amat dalam, yang tak dapat diungkapkan secara gamblang. Kerinduan yang
menyesakkan dan tak dapat disampaikan pada seseorang itu. Kerindungan yang
hanya bisa disampaikan lewat do’a.
RS Darmo
Surabaya. Tempat terakhir ibu saya bernafas. Tempat terakhir saya dan beliau
bersenda gurau; merasakan kehangatan; merangkul satu sama lain; merapal do’a
untuk keluarga kami, khususnya untuk beliau, dan sahabat barunya, leukimia.
Saya tak akan membenci leukemia. Saya tak akan membenci dokter beliau yang
sebelumnya. Saya membenci diri saya sendiri kenapa saya tak pintar melebihi
dokternya, agar saya dapat mengetahui penyakit apa yang bersarang dalam diri
beliau, dan cara apa yang harus saya lakukan untuk menyembuhkan beliau.
Leukimia
menjadi sahabat beliau di akhir masa hidupnya. Ada pertanyaan yang terlintas
dalam diri saya. Saya mencoba bertanya pada dokter pribadi kami saat pemakaman
ibu.
“Dokter,
akankah nantinya saya terkena leukemia seperti ibu?”
“Kemungkinan
akan selalu ada. Tetapi penyebab dari ibu terkena leukemia tak ada yang tahu. Mungkin
dari lingkungan beliau yang berada di perusahaan rokok.”
“Apa itu
penyakit keturunan, Dokter?”
“Bukan! Tapi
akan ada sel-sel dari ibu anda yang terdapat pada diri anda.”
Harus
bersyukur ataukah menangis? Akan ada kemungkinan karena sel-sel dari diri ibu
pasti terdapat di badan saya. Namun semua juga tergantung dari pola hidup saya.
Semoga Allah menyingkirkan hal-hal tidak baik, mengyingkirkan berbagai penyakit
yang ingin mendekati kami.
Kenangan
lain yang masih terpatri jelas dalam pikiran dan hati saya. Saat
ibu libur kerja, beliau selalu menghabiskan waktunya di rumah. Berkumpul bersama
keluarga. Jika saya ada kegiatan sekolah, club atau yang lain; ibu paling suka
mengantarkan saya sampai depan pagar rumah. Pagar cokelat yang sampai kapanpun
tak akan bisa menghapus semua kenangan sederhana yang tercipta. Saya mencium
tangan beliau, menaiki sepeda motor, berpamitan, dan saya selalu memperhatikan
kaca spion melihat langkah kecil beliau saat memasuki rumah dan menutup pagar
cokelat itu. Sederhana namun indah. Dapat dikenang namun tak akan pernah
tercipta lagi. Sampai kapanpun.
Cinta yang
besar saya peruntukkan untuk beliau yang mendampingi saya sampai beliau
menghembuskan nafas terakhir.
Beliau membuat
saya menjadi seseorang yang paling beruntung karena memiliki malaikat tercantik
sepertinya, ibu.
Dekaplah kenangan-kenangan
itu. Jangan lepaskan mereka, sebab mereka tak akan pernah kembali dengan cara
yang sama. Kenangan tak akan pernah terjadi untuk kedua kali, ketiga kali, dan
seterusnya. Peliharalah kenangan, maka kenangan akan memberikan timbal baliknya
untuk kita. Sebuah pelajaran.
Rinduku memanggilmu ibu.
Dekaplah aku dengan kenangan-kenangan yang sudah ibu ciptakan.
Saat aku kecil,
remaja, dan dewasa.
Saya merindukan ibu, seperti
tanaman yang merindukan air. Sebuah kesegaran.
ya Allah terharu :')
BalasHapussabar ya ebes sayang :*
Makasih, Me. {} Kamu juga sabar ya. :)
BalasHapuskata-katanya menggetarkan hati... :)
BalasHapussalam kenal dari wiedy.cyber4rt.com
Amin, terimakasih. Salam kenal juga. :)
BalasHapusSabar ya frenzz... Walaupun punya kisah yang berbeda, tapi sy bisa merasakan itu.Bagaimana seorng anak perantauan yang jauh dari keluarga,yang mana justru mempunyai kenangan yang sngat sedikit.Ya Ibu... Seorang yang tidak tergantikan oleh sipapun dan apapun. Jadi rindu ibu ,pengen pulang...
BalasHapusInsyaallah masih tetap bisa sabar. Terimakasih ya. Benar sekali, ibu adalah segalanya. :)
BalasHapussabar ya bes :)
BalasHapusiya, pasti. terimakasih. :)
BalasHapus