Laman

Sabtu, 26 Januari 2013

Rinduku Memanggilmu

Hai bidadari yang diciptakan Allah untuk saya, malaikat pembawa kebahagiaan yang dititipkan Allah untuk dunia, IBU.

Bagaimana kabar ibu disana? Semoga ibu bahagia sebab kami disini masih dan akan tetap mengirimkan do’a-do’a terbaik untuk ibu.

Beberapa hari ini saya memimpikan ibu. Seakan-akan ibu masih ada di samping kami, menjadi wanita tercantik yang pernah saya temui, sampai kapanpun. Mempersembahkan kebahagiaan yang tak bisa didapat dari siapapun, yang tak dapat dicari kemanapun. Hanya satu, dari ibu.

Kemarin, saya menemukan secarik kertas. Berisikan keinginan saya, mimpi-mimpi saya. Saya masih ingat, kertas itu adalah sebuah surat yang saya khususkan untuk ibu. Surat pertama dan terakhir untuk beliau. Saya tak berani untuk menyampaikan secara langsung perihal apa saja yang saya inginkan, sehingga saya harus menulisnya agar pesan itu benar-benar tersampaikan, tanpa ditutup-tutupi. Setelah surat itu beliau baca, beliau mengungkapkan “Ibu juga ingin seperti ibu-ibu yang lain, yang bisa dekat dengan anaknya.” Saat itu juga, saya ingin menangis. Sungguh tak ada keberanian untuk menatap beliau, apalagi memeluknya. Saya hanya diam, mengangguk, dan pergi untuk menangis. Betapa bodohnya saya tidak bisa menggunakan kesempatan itu dengan baik.

Banyak cerita yang dapat membuka kerinduan saya. Saat teman-teman menceritakan tentang ibunya, saat mereka mempunyai masalah dengan ibunya, kerinduan saya selalu terbuka padahal saya sudah mencoba untuk menutup kerinduan itu. Rasa rindu yang amat dalam, yang tak dapat diungkapkan secara gamblang. Kerinduan yang menyesakkan dan tak dapat disampaikan pada seseorang itu. Kerindungan yang hanya bisa disampaikan lewat do’a.

RS Darmo Surabaya. Tempat terakhir ibu saya bernafas. Tempat terakhir saya dan beliau bersenda gurau; merasakan kehangatan; merangkul satu sama lain; merapal do’a untuk keluarga kami, khususnya untuk beliau, dan sahabat barunya, leukimia. Saya tak akan membenci leukemia. Saya tak akan membenci dokter beliau yang sebelumnya. Saya membenci diri saya sendiri kenapa saya tak pintar melebihi dokternya, agar saya dapat mengetahui penyakit apa yang bersarang dalam diri beliau, dan cara apa yang harus saya lakukan untuk menyembuhkan beliau.

Leukimia menjadi sahabat beliau di akhir masa hidupnya. Ada pertanyaan yang terlintas dalam diri saya. Saya mencoba bertanya pada dokter pribadi kami saat pemakaman ibu.

“Dokter, akankah nantinya saya terkena leukemia seperti ibu?”

“Kemungkinan akan selalu ada. Tetapi penyebab dari ibu terkena leukemia tak ada yang tahu. Mungkin dari lingkungan beliau yang berada di perusahaan rokok.”

“Apa itu penyakit keturunan, Dokter?”

“Bukan! Tapi akan ada sel-sel dari ibu anda yang terdapat pada diri anda.”

Harus bersyukur ataukah menangis? Akan ada kemungkinan karena sel-sel dari diri ibu pasti terdapat di badan saya. Namun semua juga tergantung dari pola hidup saya. Semoga Allah menyingkirkan hal-hal tidak baik, mengyingkirkan berbagai penyakit yang ingin mendekati kami.

Kenangan lain yang masih terpatri jelas dalam pikiran dan hati saya. Saat ibu libur kerja, beliau selalu menghabiskan waktunya di rumah. Berkumpul bersama keluarga. Jika saya ada kegiatan sekolah, club atau yang lain; ibu paling suka mengantarkan saya sampai depan pagar rumah. Pagar cokelat yang sampai kapanpun tak akan bisa menghapus semua kenangan sederhana yang tercipta. Saya mencium tangan beliau, menaiki sepeda motor, berpamitan, dan saya selalu memperhatikan kaca spion melihat langkah kecil beliau saat memasuki rumah dan menutup pagar cokelat itu. Sederhana namun indah. Dapat dikenang namun tak akan pernah tercipta lagi. Sampai kapanpun.

Cinta yang besar saya peruntukkan untuk beliau yang mendampingi saya sampai beliau menghembuskan nafas terakhir.

Beliau membuat saya menjadi seseorang yang paling beruntung karena memiliki malaikat tercantik sepertinya, ibu.

Dekaplah kenangan-kenangan itu. Jangan lepaskan mereka, sebab mereka tak akan pernah kembali dengan cara yang sama. Kenangan tak akan pernah terjadi untuk kedua kali, ketiga kali, dan seterusnya. Peliharalah kenangan, maka kenangan akan memberikan timbal baliknya untuk kita. Sebuah pelajaran.



Rinduku memanggilmu ibu.
Dekaplah aku dengan kenangan-kenangan yang sudah ibu ciptakan.
Saat aku kecil, remaja, dan dewasa.
Saya merindukan ibu, seperti tanaman yang merindukan air. Sebuah kesegaran.

8 komentar:

  1. ya Allah terharu :')
    sabar ya ebes sayang :*

    BalasHapus
  2. Makasih, Me. {} Kamu juga sabar ya. :)

    BalasHapus
  3. kata-katanya menggetarkan hati... :)
    salam kenal dari wiedy.cyber4rt.com

    BalasHapus
  4. Amin, terimakasih. Salam kenal juga. :)

    BalasHapus
  5. Sabar ya frenzz... Walaupun punya kisah yang berbeda, tapi sy bisa merasakan itu.Bagaimana seorng anak perantauan yang jauh dari keluarga,yang mana justru mempunyai kenangan yang sngat sedikit.Ya Ibu... Seorang yang tidak tergantikan oleh sipapun dan apapun. Jadi rindu ibu ,pengen pulang...

    BalasHapus
  6. Insyaallah masih tetap bisa sabar. Terimakasih ya. Benar sekali, ibu adalah segalanya. :)

    BalasHapus

Tinggalkan jejak sesuai cerita diatas. Semoga bermanfaat.

And thanks for your visiting! :)