Laman

Sabtu, 05 Januari 2013

terakhir I


"Pia, kamu ada duit?"

"Ada, Sia. Kenapa emangnya?"

"Aku pinjem!"

"Buat apa?"

"Gak usah tanya-tanya. Sekarang mana duitnya? Cepet!"

Mau tak mau Pia mengeluarkan uang kertas berwarna merah sebanyak 5 lembar. Dia sedikit berat hati saat memberikan uang itu. Pia takut uang hasil jerih payahnya sebagai penulis digunakan untuk hal-hal yang tidak baik oleh sahabatnya, Siahaya. Tapi melihat sahabatnya yang begitu membutuhkan uang, dia menjadi tak tega. Pia harus memberikan uang itu.

Saat Pia akan bertanya lagi untuk apa uang itu, ternyata Sia langsung meninggalkannya. Meninggalkan sahabatnya yang duduk di bawah lampu temaram senja dengan berbagai pertanyaan yang mulai muncul. Pertanyaan yang tidak diketahui apa jawabannya dan kapan jawaban itu bisa ditemukan.

"Ada perasaan aneh disini." Pia menunjuk hatinya. "Semoga ini hanya perasaanku. Semoga feeling yang selalu benar itu untuk sementara hilang. Aku tak mau terjadi hal tidak baik pada sahabatku." Lanjutnya.

***
Sejak peristiwa minggu sore itu, Pia merasa ada yang berbeda dengan Sia. Hampir satu tahun mereka tak bertatap muka. Pia sedikit tidak mengerti dengan perubahan Sia. Dia mulai mencari informasi pada teman-teman lama.

 "Sebenarnya apa yang terjadi dengan Sia?"

"Haruskah aku membuka semuanya? Bukannya kamu sahabatnya sejak kecil? Kenapa malah tanya pada seseorang yang bahkan tak pernah dekat dengan kalian?"

Pertanyaan yang datang bertubi-tubi tersebut menghantam Pia. Tajam ke dalam ulu hatinya. Pia mengiyakan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Seharusnya pertanyaan itu dia tujukan pada dirinya sendiri, bukan pada orang lain. Pia merasa bersalah. Sejak kecil mereka bersama tapi pertanyaan sekecil itu tidak dapat Pia jawab sendiri. Yang sederhana malah rumit untuk ditemukan jawabannya.

Pia menunduk. Tetesan air mata mulai keluar tanpa mau dicegah, tanpa mau dihentikan. Waktu terus berjalan. Dia hanya punya 2 hari lagi untuk menemukan jawaban itu. Selanjutnya dia harus meninggalkan tempat tingal sahabatnya yang notabene adalah kampung halamannya.

"Harus kemana lagi aku mencari jawaban itu? Begitu bodohnya aku sampai tak memperhatikan sahabatku sendiri."

Dalam keadaan abu-abu seperti ini, dia tak akan bisa berpikir jernih. Harus mencari keadaan baru agar otaknya dapat berpikir dan menemukan jawaban dari perilaku sahabatnya, Sia .

Akhirnya dia memutuskan mencari suasana baru. Mencari tempat yang dapat membuatnya tenang, yang dapat mengembalikan akal dan pikiran normalnya sebab logikanya sudah tak bisa berjalan. Pun dengan hatinya yang sudah tak mampu lagi untuk diajak merasakan hal yang demikian. Masalah tersebut terlalu berat jika harus dia tanggung sendiri. Pia membutuhkan seseorang untuk berdiskusi tentang keadaan Siahaya. Atau setidaknya untuk mendengarkan ceritanya. Itu saja.

Hujan...
Pia memilih menghentikan Yaris hitamnya. Hasratnya memilih untuk berhenti dan menikmati hujan dengan segelas coffee latte. Mungkin dengan hal itu pikirannya akan jernih kembali. Dia memilih tempat yang dekat dengan kaca. Dari situ dia dapat menikmati rintikan hujan. Rintikan hujan seakan-akan melukiskan hatinya yang ingin menangis. Dia terlalu sayang dengan sahabatnya. Dia tak mau terjadi hal negatif pada sahabatnya.

Sambil menunggu pesanan datang, Pia mengarahkan pandangannya ke beberapa sudut yang mulai menarik hatinya. Mulai dari tukang parkir yang rela sakit karena hujan demi sesuap nasi untuk keluarganya, tukang becak yang masih mau mengayuh walau sudah berumur, ibu-ibu yang menggendong anaknya demi mendapatkan uang dengan cara berjualan kerupuk. Miris melihat keadaan yang seperti itu. Mereka sudah tua tapi masih mau bekerja, tidak seperti muda-mudi yang hanya menengadahkan tangan pada orang tuanya.

Saat Pia mengawasi keadaan sekitar dari balik jendela café, dia melihat seorang wanita yang sangat mungkin dia kenal. Rambutnya panjang, tinggi, tomboy. Pia berdiri dan meninggalkan mejanya. Meninggalkan dompet dan blackberry yang dia bawa. Ada yang lebih penting dari dua hal itu.

Pia berlari. Dia menembus hujan. Dia menembus batas. Menembus jalanan yang licin karena hentakan hujan.

“Sia, apa yang kamu lakukan?” Pia tak menghiraukan hujan. Dia tak menghiraukan petir yang sedari tadi bergelegar diatas kepalanya.

Sia. Dia hanya diam mendapati sahabatnya. Sekarang sahabatnya tahu sebenarnya apa yang terjadi dengannya.

“Hahaha, jadi ini sahabatmu, Sia? Dia yang meminjamkan uang untuk membeli benda haram ini? Bodoh sekali sahabatmu, Sia!” Tangan lelaki berambut gondrong itu memegang sabu-sabu. Benda haram yang sudah Sia nikmati beberapa bulan ini. Benda itu sudah membuat Sia kecanduan. Tanpa benda itu Sia tak akan bisa tenang.

“Sahabat macam apa kamu? Membiarkan Sia menikmati benda haram ini? Bukankah seharusnya sahabat bertindak tegas dan melarang sahabatnya untuk tidak bertindak seperti ini? Sudahlah Sia, biarkan dia pergi. Toh kamu juga sudah mendapatkan apa yang kamu inginkan.”

Sia. Pia. Sahabat yang sejak kecil sudah dipertemukan oleh Tuhan. Tapi hampir satu tahun mereka berpisah karena Pia melanjutkan Study di Jakarta. Mereka kehilangan contact. Tepatnya Sia menghilang. Pia baru sadar. Ternyata hal inilah yang membuat Sia menghilang begitu saja.

“Pia. Maafin aku. Aku gak bermaksud kayak gini, Pia. Tolong kamu ngertiin aku.” Sia menangis. Dia merasa bersalah. Separuh dari dunianya terasa hancur. Seperti kiamat kecil. Sahabatnya, Pia, mungkin akan pergi. Meninggalkan persahabatan yang sudah mereka bangun sejak kecil.
“Pia, tunggu! Aku bisa jelasin, Pia. Pia!”

Pia, hanya mampu melangkah. Menembus hujan. Dia mengambil dompet dan ponselnya. Membayar pesanan sesuai nominal yang tertera di kertas kecil. Dia sama sekali tak menyentuh coffee latte favoritnya. Membiarkan coffee itu dingin, tak seperti hatinya.



bersambung...



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan jejak sesuai cerita diatas. Semoga bermanfaat.

And thanks for your visiting! :)