"Pia, kamu ada duit?"
"Ada, Sia. Kenapa emangnya?"
"Aku pinjem!"
"Buat apa?"
"Gak usah tanya-tanya. Sekarang mana duitnya? Cepet!"
Mau tak mau Pia mengeluarkan uang kertas berwarna merah sebanyak 5
lembar. Dia sedikit berat hati saat memberikan uang itu. Pia takut uang hasil
jerih payahnya sebagai penulis digunakan untuk hal-hal yang tidak baik oleh
sahabatnya, Siahaya. Tapi melihat sahabatnya yang begitu membutuhkan uang, dia
menjadi tak tega. Pia harus memberikan uang itu.
Saat Pia akan bertanya lagi untuk apa uang itu, ternyata Sia
langsung meninggalkannya. Meninggalkan sahabatnya yang duduk di bawah lampu
temaram senja dengan berbagai pertanyaan yang mulai muncul. Pertanyaan yang
tidak diketahui apa jawabannya dan kapan jawaban itu bisa ditemukan.
"Ada perasaan aneh disini." Pia menunjuk hatinya.
"Semoga ini hanya perasaanku. Semoga feeling yang selalu benar itu untuk
sementara hilang. Aku tak mau terjadi hal tidak baik pada sahabatku."
Lanjutnya.
***
Sejak peristiwa minggu sore itu, Pia merasa ada yang berbeda
dengan Sia. Hampir satu tahun mereka tak bertatap muka. Pia sedikit tidak
mengerti dengan perubahan Sia. Dia mulai mencari informasi pada teman-teman
lama.
"Sebenarnya apa yang terjadi dengan Sia?"
"Haruskah aku membuka semuanya? Bukannya kamu sahabatnya
sejak kecil? Kenapa malah tanya pada seseorang yang bahkan tak pernah dekat
dengan kalian?"
Pertanyaan yang datang bertubi-tubi tersebut menghantam Pia. Tajam
ke dalam ulu hatinya. Pia mengiyakan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Seharusnya
pertanyaan itu dia tujukan pada dirinya sendiri, bukan pada orang lain. Pia
merasa bersalah. Sejak kecil mereka bersama tapi pertanyaan sekecil itu tidak
dapat Pia jawab sendiri. Yang sederhana malah rumit untuk ditemukan jawabannya.
Pia menunduk. Tetesan air mata mulai keluar tanpa mau dicegah,
tanpa mau dihentikan. Waktu terus berjalan. Dia hanya punya 2 hari lagi untuk
menemukan jawaban itu. Selanjutnya dia harus meninggalkan tempat tingal
sahabatnya yang notabene adalah kampung halamannya.
"Harus kemana lagi aku mencari jawaban itu? Begitu bodohnya
aku sampai tak memperhatikan sahabatku sendiri."
Dalam keadaan abu-abu seperti ini, dia tak akan bisa berpikir
jernih. Harus mencari keadaan baru agar otaknya dapat berpikir dan menemukan
jawaban dari perilaku sahabatnya, Sia .
Akhirnya dia memutuskan mencari suasana baru. Mencari tempat yang
dapat membuatnya tenang, yang dapat mengembalikan akal dan pikiran normalnya
sebab logikanya sudah tak bisa berjalan. Pun dengan hatinya yang sudah tak
mampu lagi untuk diajak merasakan hal yang demikian. Masalah tersebut terlalu
berat jika harus dia tanggung sendiri. Pia membutuhkan seseorang untuk
berdiskusi tentang keadaan Siahaya. Atau setidaknya untuk mendengarkan
ceritanya. Itu saja.
Hujan...
Pia memilih menghentikan Yaris hitamnya. Hasratnya memilih untuk
berhenti dan menikmati hujan dengan segelas coffee latte. Mungkin dengan hal
itu pikirannya akan jernih kembali. Dia memilih tempat yang dekat dengan kaca.
Dari situ dia dapat menikmati rintikan hujan. Rintikan hujan seakan-akan
melukiskan hatinya yang ingin menangis. Dia terlalu sayang dengan sahabatnya.
Dia tak mau terjadi hal negatif pada sahabatnya.
Sambil menunggu pesanan
datang, Pia mengarahkan pandangannya ke beberapa sudut yang mulai menarik
hatinya. Mulai dari tukang parkir yang rela sakit karena hujan demi sesuap nasi
untuk keluarganya, tukang becak yang masih mau mengayuh walau sudah berumur,
ibu-ibu yang menggendong anaknya demi mendapatkan uang dengan cara berjualan
kerupuk. Miris melihat keadaan yang seperti itu. Mereka sudah tua tapi masih
mau bekerja, tidak seperti muda-mudi yang hanya menengadahkan tangan pada orang
tuanya.
Saat Pia mengawasi keadaan
sekitar dari balik jendela café, dia melihat seorang wanita yang sangat mungkin
dia kenal. Rambutnya panjang, tinggi, tomboy. Pia berdiri dan meninggalkan
mejanya. Meninggalkan dompet dan blackberry yang dia bawa. Ada yang lebih
penting dari dua hal itu.
Pia berlari. Dia menembus
hujan. Dia menembus batas. Menembus jalanan yang licin karena hentakan hujan.
“Sia, apa yang kamu
lakukan?” Pia tak menghiraukan hujan. Dia tak menghiraukan petir yang sedari
tadi bergelegar diatas kepalanya.
Sia. Dia hanya diam
mendapati sahabatnya. Sekarang sahabatnya tahu sebenarnya apa yang terjadi
dengannya.
“Hahaha, jadi ini
sahabatmu, Sia? Dia yang meminjamkan uang untuk membeli benda haram ini? Bodoh
sekali sahabatmu, Sia!” Tangan lelaki berambut gondrong itu memegang sabu-sabu.
Benda haram yang sudah Sia nikmati beberapa bulan ini. Benda itu sudah membuat
Sia kecanduan. Tanpa benda itu Sia tak akan bisa tenang.
“Sahabat macam apa kamu? Membiarkan
Sia menikmati benda haram ini? Bukankah seharusnya sahabat bertindak tegas dan
melarang sahabatnya untuk tidak bertindak seperti ini? Sudahlah Sia, biarkan
dia pergi. Toh kamu juga sudah mendapatkan apa yang kamu inginkan.”
Sia. Pia. Sahabat yang
sejak kecil sudah dipertemukan oleh Tuhan. Tapi hampir satu tahun mereka
berpisah karena Pia melanjutkan Study di Jakarta. Mereka kehilangan contact.
Tepatnya Sia menghilang. Pia baru sadar. Ternyata hal inilah yang membuat Sia
menghilang begitu saja.
“Pia. Maafin aku. Aku gak
bermaksud kayak gini, Pia. Tolong kamu ngertiin aku.” Sia menangis. Dia merasa
bersalah. Separuh dari dunianya terasa hancur. Seperti kiamat kecil.
Sahabatnya, Pia, mungkin akan pergi. Meninggalkan persahabatan yang sudah
mereka bangun sejak kecil.
“Pia, tunggu! Aku bisa
jelasin, Pia. Pia!”
Pia, hanya mampu
melangkah. Menembus hujan. Dia mengambil dompet dan ponselnya. Membayar pesanan
sesuai nominal yang tertera di kertas kecil. Dia sama sekali tak menyentuh coffee
latte favoritnya. Membiarkan coffee itu dingin, tak seperti hatinya.
bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan jejak sesuai cerita diatas. Semoga bermanfaat.
And thanks for your visiting! :)