Laman

Tampilkan postingan dengan label fragmen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label fragmen. Tampilkan semua postingan

Selasa, 29 Desember 2015

Rindu

Bagiku, rindu itu seperti pengharapan. Pengharapan pada seseorang yang jauh di depan sana. Yang entah bisa digapai atau tidak. Yang entah bisa dipeluk untuk meluapkan luka atau tidak. Rindu, sesakit itukah ia hingga membuat orang berharap?

Bagiku, rindu adalah kekecewaan. Rindu pada ia, sedangkan ia tak membalas itu. Sedangkan ia sedang tertawan dengan bahagianya. Semengecewakan itukah ia yang bernama rindu?

Jumat, 22 Mei 2015

Ajakku Melantunkan Lagu Lagi

Dokumentasi Pribadi
Serasa baru kemarin aku melihatmu di salah satu sisi sebuah cafe. Menikmati secangkir cappucinno panas yang masih setia mengepulkan asap. Menghangatkan ruangan, menghangatkan tubuh, dan menghangatkan perasaan. Lalu kamu tersenyum dibalik kacamata hitam yang kamu kenakan setelah kamu menyesap minuman favorit jutaan umat itu. Senyum yang menyebabkan candu pada yang melihatmu.

Lalu kita mengenal satu sama lain. Uraian cerita masing-masing diantara keduanya melengkapi kekurangan yang ada. Membuat candu dan ingin menambah dan terus menambah. Entah apa yang kamu masukkan dalam kopiku ketika kita menghabiskan sore bersama di sudut cafĂ©. Yang membuatku tertagih denganmu.

Senin, 13 April 2015

Namaku Sepi

Jepretan Sendiri

Aku enggan kembali. Aku tak mau pergi dari kenyamanan. Aku ingin menetap. Aku malas untuk maju atau mundur. Aku ingin di sini. Bersama dia, seseorang yang telah lama terbelenggu akan diriku. Melihatnya, aku tak mau pergi. Karena jika aku pergi, dia pasti akan sendiri. Tak ada yang menjaga. Tak ada yang menemani.

Kau tahu? Ia suka sekali menunggu. Entah konsep apa yang ada dalam otaknya sehingga membuatnya menyukai hal yang menyebalkan bagi kebanyakan orang itu. Mungkin otaknya sedang sekarat atau kesemutan. Sehingga sulit untuk dipergunakan secara normal. Atau mungkin dia malah telah kehilangan otaknya? Entahlah.


Senin, 09 Februari 2015

Kepada Kamu Yang Pernah Menjadi Yang Terbaik

Halo, Kamu.
 
Menyapamu seperti itu rasanya begitu berat. Mulut rasanya kelu. Tak bisa berkata banyak. Ada semacam ketakutan tapi bercampur dengan kerinduan. Kerinduan yang telah melepuh, membengkak tapi kemudian bernanah karena tak menemukan obat yang diharapkan. Begitu banyak cerita yang sebenarnya ingin disampaikan. Begitu banyak pertanyaan yang ingin diungkapkan. Tapi entah kenapa, hanya itu yang keluar dari bibir.

Lalu keduanya berjalan menuju arah yang berbeda. Salah satu menoleh ke belakang. Berharap salah satunya juga demikian. Ada harap yang tak sampai. Ada kata yang tak dapat terucap. Ada rindu yang tak terbalas. Ada banyak cerita yang ingin disampaikan. Bahu yang dulu sempat disinggahi, inginnya dirasakan kembali. Inginnya. Kenyataannya tak demikian.

Memilukan? Mungkin begitu. Menyakitkan? Bisa jadi seperti itu. Tapi hidup untuk disyukuri bukan?

Terkadang aku masih mengenangmu. Apa itu salah menurut kacamatamu?

i found here
Bagi sebagian orang sepertinya tidak. Mengenang bukan berarti menginginkan untuk kembali. Bukan pula masih berdiri di tempat menunggu dia kembali. Ingin berbalik arah lalu menjadi bahumu lagi. Bukan. Sama sekali bukan itu. Tak ada yang melarang bukan jika kita mengingat seseorang yang pernah menjadi yang terbaik?


Rabu, 24 Desember 2014

Perihal Rindu

Hai.
Selamat malam, Tuan.

Bagaimana harimu pagi hingga malam ini? Menyenangkan bukan? Ah, ataukah kamu lelah (lagi) dengan semua kepenatan kegiatan-kegiatanmu? Santai saja, Tuan. Ketika kamu lelah, aku siap menimangmu hingga kamu terlelap dalam kepulasan. Membuatmu bermimpi indah untuk esok yang lebih bahagia.

Tuan, temu yang kita nanti sepanjang malam akhirnya berdamai dipersatukan oleh rindu. Sebagai pengobat dalam jiwa untuk masing-masing diantara kita berdua. Barangkali hari bisa kuhabiskan bersamamu selalu, aku hanya ingin membuatmu bahagia tanpa henti. Dan herannya, mengapa rinduku tak pernah habis untukmu. Mengapa demikian, ya, Tuan? Apakah kamu sudah menjadi candu yang tak mau kumusnahkan?

Hm, Tuan. Bagiku sebuah temu sebenarnya tak cukup. Tak cukup sekali atau bahkan dua kali. Rindu ini tak akan pernah ku selesaikan. Bahkan aku tak mau menyelesaikannya. Sebab denganmu adalah indah. Bersamamu adalah suka. Kedatanganmu adalah penantianku.


Maaf, Tuan.
Aku tak bisa menahan diri untuk tak merindukanmu.
Semua ini terjadi begitu saja tanpa mau ku berhentikan.

Senin, 22 Desember 2014

Perihal Luka

Selamat malam, Tuan.

Ya, kamu, Tuan. Tuan penyembuh luka. Tuan pembawa suka.

Ah, Tuan. Tahukah kamu apa yang sebenarnya terjadi? Benar, ternyata kamu mampu menyembuhkan lukaku. Luka lama yang tak mau kering bahkan hingga bernanah ternyata mampu kamu sembuhkan, Tuan.

Ah, ya, Tuan. Aku sedikit ingin bercerita. Tentangmu dan tentang kita. Kini kamu menjadi candu. Aku menunggu sapamu. Berharap di koridor kampus aku mampu menemukanmu. Sepersekian detik tak masalah untukku. Candu akan dirimu tak ingin ku sembuhkan. Sebab aku menikmati ini. Selain itu aku juga menanti. Menanti minggu pagi yang sering kita habiskan bersama. Pun aku juga menikmati ketika kita bertengkar. Bagiku, itu adalah kemesraan yang berbeda. Selain pertengkaran kecil yang sering kita ciptakan, pun aku juga suka dengan kesabaran dan dewasamu. Tapi, aku ingin mengenalmu lebih dari ini, Tuan. Aku ingin mengenalmu seperti kamu mengenal kamu, seperti aku yang mengenal aku.

Malam ini, tidurlah dengan lelap, Tuuan. Jangan buat lelah mengganggu tidur manismu. Esok, aku akan menunggumu. Menunggu waktu untuk dihabiskan, hanya berdua. Aku dan kamu. Cukup itu.



Untuk kamu,
lelaki yang ku sematkan namanya dalam setiap sujud

Selasa, 25 November 2014

Sekedar Mengingat (Kutemukan Bahagiaku)

I found here
Hai, kamu, seseorang yang sempat mengisi hati beberapa waktu yang lalu. Aku hanya sekedar ingin mengetahui bagaimana kabarmu. Baik di sana?

Masih ingat hal-hal yang terjadi satu tahun yang lalu? Akankah kamu mengingatknya seperti halnya aku mengingat kejadian kala itu?

Mungkin cerita ini bermula dari tempat kami mencari kenyamanan baru di kampus. Tresno jalaran soko kulino? Kedengarannya memang benar seperti itu. Semua bermula dari kebiasaan.

Ketika tenggelam dalam sendu, kamu datang untuk menghapus segalanya yang entah bermula dari mana. Kamu membawa senyum yang dapat menghapus segala duka. Kamu membawa damai dalam kalutnya cerita. Hingga pada akhirnya kenyamanan itu mulai timbul. Mencari ketika kamu tiba-tiba menghilang tak ada kabar. Ketika bertemu, malu-malu menanyakan “Kamu ke mana aja kok gak ada kabar?”

Hei, apa kalian pernah merasakan apa yang pernah aku rasakan? Kamu akan tersenyum ketika dia menyapamu? Pasti. Kamu akan bahagia sekedar mendapat sapa “Hei” lewat SMS? Benar bukan? Diam-diam dari jauh kamu mengamati dia walau sekedar ingin melihat dia lewat depan kelasmu bukan? Mulanya pasti seperti itu. Yang tertulis dalam cerita hanya bahagia, bahagia, dan bahagia tanpa berkesudahan. Segalanya berjalan lancar. Hubungan yang baik diselimuti dengan komunikasi yang baik.  Hingga kemudian kebahagian yang sempat tertulis di cerita perlahan-lahan mulai berubah. Sedikit-sedikit, suka mulai menjadi duka. Duka menjadi lara. Tapi bukan berarti sama sekali tak ada kebahagiaan yang menyelimuti hati.

Komunikasi itu penting. Setuju dengan kalimat kecil itu? Tanpa komunikasi, hubungan yang dijalani tak akan pernah menjadi baik. Sebaik-baiknya hubungan tapi jika tak ada komunikasi yang baik, tak akan membuahkan hasil yang baik pula walau sudah ada kepercayaan diantara satu dengan yang lainnya.

Sabtu, 25 Oktober 2014

Selarik Kisah untuk Kamu, Masa Remajaku

Dokumentasi Pribadi
Suatu ketika aku dan kamu pernah membuat sebuah janji. Perjanjian yang tak disampaikan secara langsung maupun tertulis. Tapi karena janji itu, aku dan kamu sempat memaknai waktu bersama, berdua. Kebahagiaan yang sangat sederhana untuk dua orang yang sangat berharga.

Nyanyian bersama ingin menciptakan cerita hidup yang tidak biasa bagi sebagian orang. Menginginkan untuk menciptakan kehidupan berdua yang begitu menyenangkan. Kelak, beberapa tahun kemudian. Inginnya seperti demikian.

Kamu ke kanan, aku mengikutimu.

Kamu ke kiri, aku pun mengikutimu.

Kemanapun arahmu beranjak, pasti aku di belakangmu.

Apa aku kecewa dengan hal-hal yang pernah aku perjuangkan untukmu? Sedikit. Ah, sebentar. Akan aku jelaskan.

Ini bukan perihal ikhlas atau tak ikhlas. Bukan pula perihal cinta atau tak cinta. Bukan juga perihal aku memilihmu dan kamu memilihku. Wajar bukan jika seseorang mengalami kekecewaan terhadap apa atau siapa yang memang mengecewakannya? Tak seperti ekspektasi yang diinginkan. Atau mungkin tidak sebanding dengan apa atau siapa yang sudah diperjuangkan.

Kamu memanglah tetap kamu yang tak akan pernah berubah karena adanya aku. Tak perlulah aku bermimpi yang indah, jika kamu masih bersama dalam kehidupanku setiap harinya. Masih ada senyum itu yang melekat pada bibir merahmu. Masih ada gelak tawa yang mampu menyebarkan tawa.

Senin, 25 Agustus 2014

Oh, ternyata begitu dekat

Sumber

Malam ini langit tak seperti langit kemarin. Tak seperti pula langit kemarinnya lagi. Begitu pula seterusnya. Pun awan juga tak seperti kemarin. Hari ini awan seperti ingin menangis. Menahan pedih, entah dia memikirkan apa. Entah apa yang dia pendam. Apakah sebenarnya dia ingin menangis? Tapi tak ada bahu sebagai penyangga?

Malam ini masih seperti malam kemarin. Sudah lama tak sepaham seperti permulaan kemarin di bawah keramaian rintik hujan. Malam ini wanita hujan di bawah kepekatan cahaya langit tertunduk lemah. Kemarin pun juga. Dia pekat seperti awan. Ingin menangis tapi tak tahu harus menangisi siapa lagi. Untuk apa dia menangis lagi. Apa guna lelah memikul ribuan tangis yang tak dapat disampaikan?

Kau yang pernah dibutuhkan sejak hujan beberapa waktu yang lalu sekarang tak (bisa) dibutuhkan lagi. Tahukah kau? Dia memikul tangis dan rindu yang tak dapat ditumpahkan kepadamu. Pikulan itu terasa berat saat kamu ternyata tak dapat memikul rindu bersama-sama lagi. Siapa kamu? Siapa dia? Dia dan kamu sudah tak sama lagi seperti aroma tanah hujan kemarin sore.


Senin, 14 Juli 2014

Catatan Kerinduan

Sumber

Hai, Tuan. Bagaimana kabarmu di sana? Baik-baik saja bukan? Sejauh mana kamu berjalan hingga dentingan jam saat ini, Tuan? Ah, ya, dengan siapa kamu berjalan sejauh ini, Tuan? Berdua atau seorang diri?

Tuan, kamu pasti ingat dengan cerita-cerita kita di kala itu. Di berbagai sudut kota, berbagai suasana, juga berbagai kondisi merekam tawa dan tangis kita berdua. Mereka mengabadikan kita tanpa sepengetahuan kita, Tuan. Pun denganku, aku juga merekam jejak dan cerita diantara kita berdua. Bahkan hingga detik ini rekaman demi rekaman itu masih teramat jelas di pemutar otakku. Ah, aku juga mengabadikan rekaman yang telah ada. Apa kamu tahu itu, Tuan penyuka sepak bola?

Sudah hampir 1 tahun sejak terakhir kamu merelakan bahumu untuk menanggung semua bebanku. Meluangkan waktu berdua untuk mengisi kekosongan yang dulu sempat terlahir kemudian menghilang karena hadirnya kamu untukku dan aku untukmu. Kamu ingat, Tuan? Cerita yang begitu sebentar. Hanya 2 bulan. Walau hanya 2 bulan tapi begitu membekas hingga berbulan-bulan bahkan hampir setahun. Apa ini yang dinamakan kesetiaan, Tuan? Bagaimana menurutmu?

Minggu, 15 Juni 2014

Rindu yang Terbuang

I found it, here
Hai, Kamu. Masih berminat membaca tulisan kumalku? Aku menulis karena aku suka mengamati beberapa hal di kiri kananku. Kemudian aku memolesnya dengan sedikit hal agar bisa aku sampaikan lewat cerita kusam ini. Aku hanya berharap setelah membaca kamu tak akan menyesal karena telah menyediakan waktu untukku. Ehm, bukan. Maksudnya telah menyediakan waktu untuk membaca tulisanku.

Entah saat ini kamu sedang menunggu pagi, siang, sore ataupun malam, aku hanya ingin memberi tahu sedikit hal. Kamu tahu? Pagiku masih sempurna. Siangku juga. Pun dengan sore dan malamku tetap sempurna seperti kenangan lama yang sulit terhapus dari isi kepalamu. Kenapa harus kenangan? Karena menurutku kenangan memiliki segala hal. Mulai dari kepedihan, keletihan, kesenangan, bahkan pelajaran.

Apakah saat ini kamu merasakan kerinduan? Tidak? Hmm, ataukah sebelum ini kamu pernah merasakan kerinduan yang menghantam hati hingga terkoyak dan tak berbentuk? Pasti pernah. Cobalah percaya denganku atau setidaknya dengan tulisan kumalku ini. Kini, aku tak lagi mengais kepingan rindu yang sudah tak dapat lagi untuk disatukan. Walaupun kerinduan itu memikat dan menjerat, tetapi aku tak tahu harus menyampaikan rindu ini kepada siapa. Sebab aku tak mengenal Tuan. Sejak kala itu. Aku kira kamu juga pernah mengalami hal yang sama.

Sabtu, 31 Mei 2014

Opi - Bes

Hai. Ketemu lagi nih. Kali ini gak bikin cerita yang galau mellow dulu, ya. Ada hal penting yang perlu dibahas. Apa itu? *tataratata*

HAPPY BIRTHDAY RATIH PRIMA PUSPITA




Kita berdua kenal sejak jadi murid baru di SMAN 17 Surabaya. Masuk di kelas X-1 tapi waktu itu belum deket banget. Belum lengket melebihi permen karet. Cuma sekedar temen sekelas aja.

            Habis kelas X tentunya penjurusan dong. Ke IPA atau IPS. Dan ternyata kita sama-sama di kelas XI IPA 5. Berdasarkan kesamaan nasib dan kesamaan kelas (kelas X), dan atas nama perjuangan, kita jadi lebih deket. Disini lagi proses jadi permen karet. Duduk sebangku. Ke kantin berdua. Ke mana-mana berdua. Tapi inget, disini masih proses jadi permen karet. Belum lengket-lengket banget apalagi bisa bikin celana atau rok orang jadi lengket sama bangku di sekolahan.

Kamis, 15 Mei 2014

Kembalilah, Suatu Hari Nanti

I found here

Waktu masih bergerak seperti semula. Berjalan terus menerus. Matahari masih bertahan dan berpindah dari ujung timur ke ujung barat. Bulan masih menggantikan matahari saat malam. Embun masih setia pada pagi. Senja masih menggelayut manja pada sore. Dan disini masih ada seseorang yang setia pada penantian tak berujung.

Disaat semua sudah berakhir, porak-poranda tak seperti semula. Tak tahu bagaimana jalan untuk memulai kembali. Ingin meneruskan cerita lama dengan orang yang sama. Sudah tak bisa lagi terus menerus menyimpan kesedihan seorang diri. Tak bisa pula menahan mati-matian. Suatu ketika tebing itu juga akan roboh juga.

Aku begitu percaya cinta datang dengan sendirinya. Percaya bahwa cinta datang tak terduga. Pada tempat sederhana yang tak terduga, suasana yang tak terduga, keadaan yang tak terduga, waktu yang juga tak terduga, dan pastinya pada orang yang tak terduga pula.

Tapi satu hal yang tidak aku percayai, yaitu kebetulan. Menurutku di dunia ini tak ada satupun hal yang terjadi secara kebetulan. Semua telah di-skenario-kan oleh Yang Kuasa. Pertemuan dengan kamu pun juga bukan sebuah kebetulan semata.

Selasa, 29 April 2014

Hujan Membuka Kenangan

Sumber

Hujan suka sekali datang secara tiba-tiba membawa kenangan-kenangan yang telah lapuk. Dia terbang dengan suka cita membuat seseorang membuka kembali semua kenangan lama yang pahit ataupun manis. Kenangan pahit ataupun manis bukan untuk dilupakan. Mungkin untuk dipelajari? Ya, mungkin saja. Sepertinya sebuah kenangan tak layak untuk dilupakan.

Kenangan layaknya seperti hujan. Dia tetap akan membekas, entah sampai kapan. Dia berbau seperti saat hujan menyentuh tanah.

Selamat hujan.


Dan selamat, kenangan-kenangan mulai bertebaran dengan manis.

Senin, 24 Februari 2014

Untuk Kamu Dia Bertahan

 sumber

Perjalanan ini sungguh membuatnya lelah. Sebelumnya tak pernah terbayangkan dia akan berjalan sejauh ini. Sebelumnya tak ada kata berlari dan mengejar yang baru, yang ada hanya bertahan. Bertahan mencintai secara diam-diam. Bertahan menyimpan kekaguman yang teramat sangat hingga waktu yang tak bisa ditentukan. Tanpa sadar, dia memperhatikan kamu. Garis wajahmu, senyumanmu, tawa candamu, sifat cuekmu yang mampu dia terima dengan baik. Dalam diam dia mendamba kamu, yang teramat dekat dengannya namun belum bisa terjamah olehnya.

Saat ini dia masih berjalan. Ditemani embun yang menetes bersama daun. Ditemani bayang-bayang pada tengah hari. Juga ternyata ditemani cahaya jingga di ujung barat. Dan ternyata juga ada ribuan cahaya kecil di langit, yang dalam diam cahaya-cahaya itu ada untuknya. Mereka menemaninya tanpa lelah. Seperti dia berharap kamu, tanpa lelah juga. Dia, menoleh ke kanan-kiri, siapa tahu ada pemikat hati, yang lebih peka, yang lebih mengerti, yang mungkin akan seperti kamu. Adakah?

Satu, terlewati. Lebih mengerti. Lebih memahami. Tapi ada bagian hati yang sepertinya tak terpenuhi, tak berisi.


Minggu, 23 Februari 2014

Saat Dia Sudah Lelah

Sumber

Ada sesuatu yang tak ingin dia percaya. Yaitu mengenai insting dia sendiri. Dia begitu membenci insting yang sering berjalan di pikirannya. Beberapa pemikiran merambat ke otaknya, tak mau untuk ditinggalkan. Menjelma menjadi hal yang terus membayang-bayangi, kemanapun dia pergi. Mungkin insting itu terlalu mencintai Empunya. Mungkin dia ingin menunjukkan beberapa hal untuk bisa dipercaya si Empu tersebut sebelum hal tersebut terjadi atau mungkin agar si Empu mengetahui lebih dulu dibanding yang lainnya. Atau agar si Empu dapat mengantisipasi segala hal yang akan terjadi? Entahlah. Sulit sekali untuk menebak hal-hal yang berseliweran di pikiran kita.

Seperti sedia kala, dia selalu mencoba untuk berpikir positif. Walaupun terkadang bayang-bayang negatif itu selalu terlintas di depannya. Sampai saat ini, saat senja perlahan mulai menghilang dan berganti menjadi malam.

Tapi realita memang tak bisa ditolak. Kejadian-kejadian itu sudah tercetak jelas. Sangat tak wajar. Terlukis di depan mata dan tak ada penjelasan bahwa semua itu adalah ilusi belaka. Kejadian nyata di depan mata sudah tak bisa ditutup-tutupi lagi. Sekalipun memberikan kesan busuk. Sekalipun itu menyakitkan.

Sabtu, 22 Februari 2014

Titipan Rindu



Begitu kerinduan merasuk ke dalam diri seseorang, dia tak akan mau pergi sebelum pertemuan itu datang. Tetapi terkadang saat bertemu pun, kerinduan itu tak ayal malah semakin merebak. Seperti sebuah minyak, jika sedikit demi sedikit ditambahkan, dia akan melebar sesuai wadahnya. Bukan malah semakin menyusut.

Saat kamu berjauhan, hanya sedikit komunikasi yang terjalin. Bukankah kamu pasti begitu merindukannya?

Ah, setidaknya diatas kita masih ada langit biru. Hanya satu langit yang kita lihat setiap harinya secara bersamaan. Langit yang aku lihat juga langit yang kamu lihat. Mungkin aku bisa menemukan wajahmu disana, pun juga dengan senyum dan tawamu. Walau hanya bayang-bayang. Begitu juga dengan kamu. Kamu pasti juga menemukan aku disana, walau berjauhan. Karena kita menatap langit yang sama.

Senin, 16 Desember 2013

Daun Tanpa Embun


Apa kamu tahu angin di pagi hari? Disana kamu bisa merasakan kesejukan tiada henti. Merambah ke wajah, tangan, dan kaki sampai ke pori-pori. Dingin. Namun begitu memikat untuk dirasakan kembali. Dia begitu menenangkan jiwa. Membuat kamu ingin menutup mata dan merasakan kesejukannya lebih dari yang kamu inginkan.

Ah. Aku merindukan kamu yang tak pernah ku ketahui lebih detail. Aku mengenalmu hanya dengan sebatas melihat. Memperhatikan kamu dari jauh. Mengetahui tawa renyahmu dari jarak sekian meter. Aku tak menegenalmu seperti daun dengan embun. Mereka begitu dekat. Setiap pagi selalu ada embun pada daun. Mereka tak pernah menjauh kala pagi datang. Daun dan embun saling mengenal. Saat pagi, tanpa embun sepertinya daun akan merasa sepi. Begitu juga dengan aku. Tanpa tawamu dan tanpa melihatmu semua terasa begitu memilukan. Kamu seperti senja yang selalu datang saat matahari menutup mata. Hanya sepersekian detik tapi begitu berarti untuk diamati dan dirasakan.

Senin, 11 November 2013

Ada Tanpa Diminta

Kadang kala saat bumi panas dibutuhkan hujan untuk mendinginkan, untuk menyegarkan, dan mengharumkan tanah.

Seperti ombak yang selalu menemani laut dimana pun laut berada. Ombak selalu ada untuk laut. Bagai langit, selalu ada yang setia terhadapnya. Kala pagi, siang, sore, bahkan malam. Langit selalu ada yang menemani dan tak pernah merasa sepi. Pagi, siang, dan sore selalu ada matahari yang mendampinginya. Kala malam langit pun juga tak sendiri. Ada bulan dan bintang yang tak mau beranjak dari sampingnya. Mereka saling melengkapi satu sama lain. Satu pun dari mereka tak ada yang mampu untuk meninggalkan yang lain. Karena apa? Karena mereka sama-sama membutuhkan sekalipun tanpa diminta.

Seperti sekelompok orang yang rela menanjaki pegunungan hanya untuk mendapatkan satu keindahan saja. Ya, satu saja. Mereka rela menjajaki batu-batu besar, rela lelah, rela membuang keringat hanya untuk melihat matahari terbit. Penuh pengorbanan hanya untuk mendapatkan satu keindahan.


Seperti kamu, penikmat senja di tepian pantai. Tiap kali jarum menunjukkan pukul 4 sore, kamu buru-buru mengayuh sepeda tanpa henti. Kebahagiaan terpancar dari raut wajah dan lekukan bibirmu. Sesampai di pantai, kamu tak bermain pasir, air laut, ataupun bermain sepak bola di tepi pantai. Tapi kamu hanya duduk. Diam memandang ke arah barat. Apa yang kamu lihat? Senja. Kamu rela menunggunya walau kamu hanya bisa menikmatinya sepersekian detik. Menunggu akan hal sederhana.

Sabtu, 26 Oktober 2013

Merangkulmu Semampuku

“Gischa begitu baik. Dia manis. Sederhana tapi daya tariknya tak dapat tertutupi begitu saja,” paparnya penuh dengan kebahagiaan yang terpancar dari matanya.

Ada kesakitan saat perlahan kamu membeberkan semua hal tentangnya. Ada kesakitan saat kamu memujanya, terlebih saat kamu menyebut namanya. Bukan aku tapi Gischa . Mengertikah kamu dengan rasaku? Mungkin sebaiknya aku memprioritaskan kamu dibanding aku. Sebaiknya aku mendengarkan segala celotehmu walau bukan tentang aku. Dengan begitu setidaknya bisa disebut aku selalu ada untuk kamu, walau mungkin belum bisa disebut kamu ada untuk aku.

Sebisa mungkin aku membiarkan kesakitan menggerogoti jiwaku, bukan kamu. Biarlah luka tertanam bahkan tumbuh dengan jelas pada rasa yang sudah lama tumbuh terhadap kamu. Biarlah kamu bercerita tentangnya, setidaknya dengan itu aku bisa melihat kamu tersenyum, tertawa, terharu, bahkan memuja perempuan itu. Ya, perempuan yang ada disana. Bukan disebelahmu. Bukan aku.