Seperti malam-malam sebelumnya, saya
ingin menyapa malaikat tak bersayap, malaikat yang sempat bernyawa, malaikat
berjilbab, yang sudah berpisah dari saya tapi saya masih berharap dipertemukan
lagi; nanti di surga, Ibu.
Satu pesan yang ingin saya
sampaikan. Dan beberapa cerita yang ingin saya ungkapkan untuk ibu.
Pesan untuk Ibu, saya sudah
menyelesaikan satu semester di Teknik Telekomunikasi - Politeknik Elektronika
Negeri Surabaya. Transkrip nilai sudah ada di tangan saya, Bu. Kemarin Sabtu (22/2)
bapak mengambilkan hasil belajar yang sudah saya perjuangkan. Biasanya kalau
ada rapat orang tua dan mengambil raport, Ibu lah yang selalu melakukannya, untuk saya. Seperti
saat sebelumnya; saat Leukimia itu sudah mendekati Ibu, menjadi sahabat Ibu,
tapi Ibu tetap gigih mengambilkan hasil belajar itu untuk saya.
Saya tahu, Ibu adalah wanita
berpendidikan. Jika Ibu mengetahui IPK perdana saya, kemungkinan besar Ibu akan
marah, melarang saya bermain bulutangkis yang saya lakukan hingga larut malam,
melarang saya membaca novel, dan mungkin melarang hobi saya yang lain; kuliner.
Andai Ibu masih ada, saya yakin semua itu pasti akan Ibu lakukan. Melarang, melarang,
dan melarang. Tapi, nyatanya Ibu sudah pergi. Sayang sekali, pelarangan itu
pasti tak akan tercipta. Saya merindukan larangan-larangan yang selalu Ibu
khususkan untuk saya. Begitu merindukan.
Kemarin (24/2) tepat 8 bulan
kepergian Ibu. Ternyata kematian sudah lama menjemputnya. Kami sudah dipisahkan
diantara dua dunia yang berbeda. Namun kerinduan dan kasih sayang sampai
kapanpun tak akan bisa dipisahkan. Kerinduan itu saya sampaikan setiap hari,
saat saya usai sholat dan melalui surat Yaasin. Dengan itu saya yakin beliau
akan tersenyum. Puas. Tak akan menderita disana.
Ibu, satu tantangan yang saya hadapi
saat ini. IPK saya sempat membuat saya down. Membuat saya malu. Malu dengan Ibu
dan Bapak. Berani-beraninya saya mencetak nilai itu di kertas putih berlabelkan
PENS? Sungguh saya tak ingin mengulangi hal bodoh ini. Saya harus bangkit, setidaknya
membuat IPK-IPK saya selanjutnya agar menjadi lebih baik. Maafkan saya Bapak,
Ibu.
Ibu, pinjamkan saya semangatmu yang
tak pernah pudar dari kehidupanmu. Pinjamkan saya tanganmu untuk menggenggam
semua mimpi-mimpi. Pinjamkan saya wajahmu agar saya selalu menebarkan senyuman
untuk semua orang. Pinjamkan untuk saya semua ketabahanmu, semua kesabaranmu,
semua semangatmu. Maaf jika saya ingin meminjam. Sebab saya masih ingin mengenang
Ibu. Tapi saya berjanji akan membangun kekuatan saya sendiri, mimpi-mimpi saya
sendiri, senyuman saya sendiri, melebihi Ibu. Akan saya lakukan. Saya pasti
juga bisa sesabar Ibu, setabah Ibu, dan sesemangat Ibu.
Ibu, terimakasih saat Ibu berangkat kerja,
ke Pandaan setiap hari; Ibu selalu menyempatkan diri membaca ayat-ayat suci
Tuhan untuk kami; saya dan adik, serta tentunya keluarga yang sudah Ibu buat.
Semoga semua warisan kebaikan-kebaikan
Ibu sampai pada kami, yang akan kami berikan pada orang-orang terdekat kami,
dan tentunya keluarga kami; nanti. Terimakasih Ibu sudah memperkenalkan saya
olahraga, lewat darah yang mengalir pada diri saya. Terimakasih sudah
memperkenalkan saya olahraga bernama bulutangkis. Sebab bulutangkislah nafas
saya dan tentunya dapat menghubungkan kita. Dua dunia yang berbeda.
Terakhir, terimakasih sudah memberi saya
sebuah nama belakang yang sangat cantik, Bestari. Semoga nama itu tak akan
sia-sia. Nama yang Ibu berikan adalah sebuah pengharapan yang tak kecil.
Ibu, saya tunggu satu bulan lagi. Mungkin
Ibu akan membawakan kue ulang tahun untuk saya, walau hanya dalam mimpi.
Selamat malam, Ibu.
Tersenyumlah disana.
Saya masih memelukmu dengan ayat-ayat suci-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan jejak sesuai cerita diatas. Semoga bermanfaat.
And thanks for your visiting! :)