Laman

Senin, 01 Juli 2013

Someday

Aku masih mengenangmu. Masih menanti seperti mereka yang setia menunggu senja. Masih seperti mereka yang mengharapkan pagi datang sesegera mungkin. Masih seperti mereka yang mengharapkan janji-janji untuk segera ditepati. Menanti sapaan lembutmu dengan tatapan tenangmu. Menanti cerita-cerita sederhana yang meluncur deras dari bibirmu. Menanti “omelan” mu karena berbagai ulah yang sering ku ciptakan. Masih disanakah kamu? Masihkah kamu menatap kearahku? Kamu, mengobrak-abrik isi hatiku dengan pesona yang tak pernah luntur. Ya, pesona. Kamu benar-benar mengalihkan hati, pikiran, dan jiwaku dengan pesona sederhanamu.

Andai kamu mampu mendengarku tanpa aku berbicara sepatah kata pun. Andai kamu mampu menjawab semua pertanyaan-pertanyaan yang menggelayut di otakku tanpa ku utarakan sebelumnya.
Kamu berdiam disana. Apakah otakmu sempat terlintas bayangku? Namaku? Atau bahkan cerita-cerita yang pernah kita ukir? Apa kamu sempat mendengar bisikan rinduku?

Rindu ini terasa indah. seindah senja yang memayungi langit sore. Seindah kerlipan kunang-kunang di gelapnya malam. Seindah hangatnya matahari pagi yang menyengat kulit bersama munculnya pengharapan-pengharapan baru. Untukmu, rindu ini kuciptakan. Untukmu, rindu ini kunikmati. Dan untukmu pula, rindu ini kuhayati. Sampai kapan? Entah. Biarkan aku menikmati rindu yang pernah atau bahkan sering kali kamu ciptakan.

Teguran dan sapa hanya akan tercipta saat ada “kewajiban” yang mengikat kita. Hanya akan tercipta saat ada suatu “kepentingan” diantara kita. Kamu dan aku.

“Hai.”

Deg! Adakah sesuatu yang menyebabkan kamu menyapaku?

“Hei, ngomong dong!”

“Oh, iya. Kenapa? Kok tumben?”

“Harus ada alasan ya kalo aku pengen nyapa kamu?” candanya.

 “Oh, maaf. Gak gitu maksudnya.”

“Santai ajalah” ucapnya sambil tertawa.

“Jadi anak halte nih?” lanjutnya.

 “Iya, sekali-sekali asik juga jadi anak halte.”

Sore ini aku duduk di deretan bangku kosong halte yang tepat berada di depan kampus.

Berawal dari perbincangan “anak halte” kami bercerita mengenai banyak hal tanpa suatu “kewajiban” dan “kepentingan” yang sering mengikat kami. Berbagai cerita mengalir begitu saja dari bibir kami. Mulai dari hobi (yang ternyata memiliki hobi sama), kuliah, tugas, project, dan semua hal.

“Ternyata asik juga cerita sama kamu” ujarku dengan penuh tawa. Tawa bahagia.

Dia hanya tertawa menanggapi pernyataanku. Kami bercerita kembali. Mengenai segala hal.

Sore yang begitu indah. Semoga senja mencatat kejadian ini. Mencatat kenangan-kenangan kecil yang diciptakan oleh penikmat senja. Berharap senja dapat menyejukkan hatiku dan (mungkin) hatinya kembali. Kami berdua. Aku dan dia.

Syair dan melodi melebur bersama indahnya senja. Menjadi satu. Menjadi kenangan sederhana yang sulit untuk dilupakan. Semoga senja kali ini tak berlebihan.

****

 “Hai. Ketemu lagi di halte” ucapnya dengan senyuman.

Aku hanya membalas dengan anggukan kecil. Aku lebih tergoda dengan novel yang sedang ku pegang. (mungkin) lebih indah.

“Dijemput?” lanjutnya.

Ku lihat sekilas. Aku mengangguk kembali. Hanya itu. Ingin berbicara tapi rasanya terlalu sulit. Entah mengapa.

Plek. Ku tutup novel bercover daun momiji tersebut. Ku timang-timang sebentar.  Dengan keadaan seperti ini, susah sekali untuk berkonsentrasi.

Aku masih terdiam. Kualihkan mata dari novel ke jalanan yang mulai padat. Hari sudah semakin sore. Surabaya mulai padat dengan berbagai kendaraan. Untuk kali ini aku senang dengan kemacetan. Setidaknya perhatianku teralihkan kesana. Percikan cahaya senja menerobos rimbunnya pohon di pinggir jalan. Menambah keanggunan jalan yang semakin ramai.

“Kenapa?”

Aku tersadar dari lamunanku. Ku lirik sekilas lelaki yang sedari tadi berada di sebelahku.

“Gak apa kok.” Seulas senyum mampir di bibirku.

“Baru pulang kuliah?” tanyaku di sela-sela kesibukan menatap kemacetan di depan mata.

“Engga juga. Kamu?”

“Baru selesai kuliah.” Kualihkan tatapan ke seseorang yang ada di sebelah kiriku. Dia sangat menarik.

“Kamu mirip banget sama cewekku. Suka ngelamun kalo lagi diajak ngomong” ucapnya dengan penuh kebahagiaan. Mata itu. Sungguh memancarkan rasa yang teramat dalam. Untuknya. Bukan untukku.

Kuat! Aku harus kuat. Gak boleh nangis di depan dia.

“Oh, iya.” Aku mampu memaksakan seulas senyum. Tapi mataku tak bisa menutupi semua itu. Terlihat lebih redup. Bahkan sangat redup.

Ternyata senja kembali mencatat cerita kami. Sore itu. Begitu menyakitkan.

Berbahagialah.

-Someday you'll find the perfect man. Just let it flow until you're ready. Fight!-



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan jejak sesuai cerita diatas. Semoga bermanfaat.

And thanks for your visiting! :)