Aku masih
mengenangmu. Masih menanti seperti mereka yang setia menunggu senja. Masih seperti
mereka yang mengharapkan pagi datang sesegera mungkin. Masih seperti mereka
yang mengharapkan janji-janji untuk segera ditepati. Menanti sapaan lembutmu
dengan tatapan tenangmu. Menanti cerita-cerita sederhana yang meluncur deras
dari bibirmu. Menanti “omelan” mu karena berbagai ulah yang sering ku ciptakan.
Masih disanakah kamu? Masihkah kamu menatap kearahku? Kamu, mengobrak-abrik isi
hatiku dengan pesona yang tak pernah luntur. Ya, pesona. Kamu benar-benar
mengalihkan hati, pikiran, dan jiwaku dengan pesona sederhanamu.
Andai kamu
mampu mendengarku tanpa aku berbicara sepatah kata pun. Andai kamu mampu
menjawab semua pertanyaan-pertanyaan yang menggelayut di otakku tanpa ku
utarakan sebelumnya.
Kamu berdiam
disana. Apakah otakmu sempat terlintas bayangku? Namaku? Atau bahkan
cerita-cerita yang pernah kita ukir? Apa kamu sempat mendengar bisikan rinduku?
Rindu ini
terasa indah. seindah senja yang memayungi langit sore. Seindah kerlipan
kunang-kunang di gelapnya malam. Seindah hangatnya matahari pagi yang menyengat
kulit bersama munculnya pengharapan-pengharapan baru. Untukmu, rindu ini
kuciptakan. Untukmu, rindu ini kunikmati. Dan untukmu pula, rindu ini kuhayati.
Sampai kapan? Entah. Biarkan aku menikmati rindu yang pernah atau bahkan sering
kali kamu ciptakan.
Teguran dan
sapa hanya akan tercipta saat ada “kewajiban” yang mengikat kita. Hanya akan
tercipta saat ada suatu “kepentingan” diantara kita. Kamu dan aku.
“Hai.”
Deg! Adakah sesuatu yang menyebabkan kamu menyapaku?
“Hei,
ngomong dong!”
“Oh, iya. Kenapa?
Kok tumben?”
“Harus ada
alasan ya kalo aku pengen nyapa kamu?” candanya.
“Oh, maaf. Gak gitu maksudnya.”
“Santai
ajalah” ucapnya sambil tertawa.
“Jadi anak
halte nih?” lanjutnya.
“Iya, sekali-sekali asik juga jadi anak halte.”
Sore ini
aku duduk di deretan bangku kosong halte yang tepat berada di depan kampus.
Berawal
dari perbincangan “anak halte” kami bercerita mengenai banyak hal tanpa suatu “kewajiban”
dan “kepentingan” yang sering mengikat kami. Berbagai cerita mengalir begitu
saja dari bibir kami. Mulai dari hobi (yang ternyata memiliki hobi sama),
kuliah, tugas, project, dan semua hal.
“Ternyata
asik juga cerita sama kamu” ujarku dengan penuh tawa. Tawa bahagia.
Dia hanya
tertawa menanggapi pernyataanku. Kami bercerita kembali. Mengenai segala hal.
Sore yang
begitu indah. Semoga senja mencatat kejadian ini. Mencatat kenangan-kenangan
kecil yang diciptakan oleh penikmat senja. Berharap senja dapat menyejukkan
hatiku dan (mungkin) hatinya kembali. Kami berdua. Aku dan dia.
Syair dan
melodi melebur bersama indahnya senja. Menjadi satu. Menjadi kenangan sederhana
yang sulit untuk dilupakan. Semoga senja kali ini tak berlebihan.
****
“Hai. Ketemu lagi di halte” ucapnya dengan
senyuman.
Aku hanya
membalas dengan anggukan kecil. Aku lebih tergoda dengan novel yang sedang ku
pegang. (mungkin) lebih indah.
“Dijemput?”
lanjutnya.
Ku lihat
sekilas. Aku mengangguk kembali. Hanya itu. Ingin berbicara tapi rasanya
terlalu sulit. Entah mengapa.
Plek. Ku tutup novel bercover daun momiji
tersebut. Ku timang-timang sebentar. Dengan
keadaan seperti ini, susah sekali untuk berkonsentrasi.
Aku masih
terdiam. Kualihkan mata dari novel ke jalanan yang mulai padat. Hari sudah
semakin sore. Surabaya mulai padat dengan berbagai kendaraan. Untuk kali ini
aku senang dengan kemacetan. Setidaknya perhatianku teralihkan kesana. Percikan
cahaya senja menerobos rimbunnya pohon di pinggir jalan. Menambah keanggunan
jalan yang semakin ramai.
“Kenapa?”
Aku tersadar
dari lamunanku. Ku lirik sekilas lelaki yang sedari tadi berada di sebelahku.
“Gak apa
kok.” Seulas senyum mampir di bibirku.
“Baru
pulang kuliah?” tanyaku di sela-sela kesibukan menatap kemacetan di depan mata.
“Engga
juga. Kamu?”
“Baru
selesai kuliah.” Kualihkan tatapan ke seseorang yang ada di sebelah kiriku. Dia
sangat menarik.
“Kamu mirip
banget sama cewekku. Suka ngelamun kalo lagi diajak ngomong” ucapnya dengan
penuh kebahagiaan. Mata itu. Sungguh memancarkan rasa yang teramat dalam. Untuknya.
Bukan untukku.
Kuat! Aku harus kuat. Gak boleh nangis di depan dia.
“Oh, iya.” Aku
mampu memaksakan seulas senyum. Tapi mataku tak bisa menutupi semua itu. Terlihat
lebih redup. Bahkan sangat redup.
Ternyata
senja kembali mencatat cerita kami. Sore itu. Begitu menyakitkan.
Berbahagialah.
-Someday you'll find the perfect man. Just let it flow until you're ready.
Fight!-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan jejak sesuai cerita diatas. Semoga bermanfaat.
And thanks for your visiting! :)