Laman

Sabtu, 14 Februari 2015

Katanya Cinta Itu

Selamat tengah malam, kepada kamu yang baru saja saya ketahui. Kepada kamu yang baru saja saya kenal. Kepada kamu yang baru saja saya temui secara tak sengaja. Kepada kamu yang baru saja membuat saya terpikat pada temu yang pertama.

Opini pertama pada temu pagi kala itu, kamu begitu menghangatkan. Kamu begitu sopan. Kamu begitu bersahaja. Dan tentunya kamu begitu sabar. Subhanallah, dengan baik hati Tuhan menyematkan namamu dalam rentetan cerita perjalanan hidup saya. Kali ini Tuhan berbaik hati (lagi). Dia menyematkan (sedikit) cerita bersamamu dalam keseharian saya. Sederhana namun membahagiakan.

Lambat laun, diam-diam saya mengamati kamu. Mencari tahu pada ketidaktahuan saya. Mencari tahu pada keterbatasan saya. Pada ketakberdayaan saya. Mencari dan terus mencari. Apa saja, mengenai kamu.

Esoknya, tanpa diduga yang kata kamu libur, ternyata saya melihatmu. Bukan ilusi. Degup kencang, bahagia, dan malu-malu bercampur menjadi satu. Benarkah itu kamu?

Ah, Tuan, begitu lembutnya kamu sehingga membuat saya terpikat. Membuat letupan-letupan kecil yang telah lama hilang muncul kembali. Tuan, sebenarnya sejak senja gerimis di tepian kota itu kamu sudah merenggut sebagian dari sesuatu yang telah lama ingin saya bagikan. Disela-sela kesibukanmu yang maha dahsyat, disela-sela pekerjaan yang tak tahu diri padahal Tuannya ingin istirahat, kamu tak ingin menduakan-Nya. Kamu tetap ingin melantukan asma-Nya di manapun kamu berada. Sungguh, Tuan, hal seperti itu membuat saya benar-benar terpikat. Letupan-letupan itu semakin membakar apapun yang ada di sekitarnya. Subhanallah.

Baru saja saya mengenalmu, Tuan. Tapi perpisahan sepertinya telah menunggu manis di depan mata. Esok adalah hari yang sangat tak saya harapkan. Sapa “hai” yang baru saja terucap harus segera diakhiri dengan “selamat tinggal” walau sejujurnya saya tak ingin. Sangat tak ingin.

Tuan, saya ingin sedikit bertanya. Berharap kamu mampu menjawab. Entah menyampaikan jawab itu melalui luluhan air di pagi hari dari daun hijau, panas siang hari yang begitu menyengat, senja yang begitu memikat, ataupun pada malam yang amat pekat. Silakan kamu pilih, Tuan. Saya menunggu jawabmu.

Begini, Tuan.

Katanya, jatuh cinta itu berjuang.
Katanya, jatuh cinta itu kegigihan.
Katanya, jatuh cinta itu harus dikejar.
Katanya, jatuh cinta itu jatuh bangun.
Katanya pula, jatuh cinta itu harus diutarakan.

Katanya seperti itu, Tuan. Entah siapa yang berkata. Mungkin pepohonan yang mengering di tepian jalan karena terlalu lelah untuk berjuang sehingga menjadi amat kering dan tak layak untuk dibuat berteduh. Mungkin pepohonan yang dulunya hijau itu tak mau merasakan apa yang telah mereka rasakan. Mungkin pula itu katanya malam. Malam yang semakin hari semakin dingin dan tak berperi. Malam yang semakin hari membuat tubuh mungil menggigil tak karuan. Mungkin, malam juga seperti pepohonan yang telah lama menunggu dan tak berani untuk memperjuangkan. Mereka senasib. Sama rasa. Tapi, Tuan. Dengarlah. Saya tak ingin seperti mereka yang menunggu sampai mengering bahkan juga menunggu sampai membuat orang lain kesakitan. Saya tak mau seperti itu, Tuan. Sungguh saya tak mau.

Maka dari itu bantulah saya, Tuan. Bagaimana yang harus saya perbuat? Jujur saya tak mau menutup kisah yang baru saja terbuka. Saya tunggu jawabanmu, Tuan. Walaupun menunggu itu menyesakkan, tak apa. Saya akan meminta embun, terik, senja, dan rembulan untuk menemani kesendirian.

7 komentar:

  1. Selamat menunggu, tabahkan dan kuatkan hatimu

    BalasHapus
  2. Awww, jatuh cinta pada pandangan pertama. Ayo berjuangng, jngan lelah menunggu! ^^

    BalasHapus
    Balasan
    1. aiih, ada kak liony. makasih kak udah mampir :))) iya kak, gak boleh lelah hihi

      Hapus
  3. Jatuh cinta sama mas-mas di tempat KP, bes :3 ?

    BalasHapus
  4. katanya cinta juga buta, tuli, bisu... hehehehe

    BalasHapus

Tinggalkan jejak sesuai cerita diatas. Semoga bermanfaat.

And thanks for your visiting! :)