Laman

Rabu, 12 September 2012

bangkit!


“Enak ya kamu udah dapet sekolah baru. Jadi gak bingung lagi kayak aku.”
“Alhamdulillah.” Jawabku sekenanya.
“Aku udah gak kuat. Aku udah daftar SNMPTN Undangan ternyata ditolak. Aku juga udah ikut tes SNMPTN Tulis, dan malangnya aku ditolak lagi. Nasib nasib.” Lanjutnya tanpa menghiraukan jawabanku yang hanya satu kata tersebut.
Setelah dia, Cindy, berkata seperti itu, aku hanya diam. Mulutku mati, tapi hati dan telingaku sebenarnya hidup. Aku masih menyimak lantunan yang sejak tadi keluar dari mulutnya. Aku diam bukan berarti aku meremehkan apa yang dia bicarakan tapi lebih karena belum saatnya aku berbicara.
“Aku udah gak kuat banget, Des. Rasanya semangatku buat cari sekolah lagi udah gak ada. Aku udah kecewa sama keadaan.” Raut wajahnya menunjukkan beban yang semakin lama semakin berat. Padahal aku berharap setelah dia bercerita, bebannya semakin berkurang walau hanya sedikit.

 “Udah? Cukup? Simple aja sih. Kalo emang kamu udah gak ada semangat, yaudah gak perlu sekolah. Gitu aja kok diambil pusing.” Pedas. Aku yakin itu yang dia rasakan. Mungkin perkataanku lebih pedas dibanding sambal yang sering dia lahap. Tak hanya pedas di mulut tapi mungkin juga di hati. Ya, tanpa sengaja aku sudah menusuk ulu hatinya. Memang beginilah caraku untuk menyadarkan seseorang yang keras kepala dan kurang bersyukur sepertinya.
“Aku udah usaha tapi hasilnya ya gini-gini aja. Tuhan kok gak adil sih sama aku? Temen-temenku aja banyak yang diterima di sekolah ini itu. Tapi kenapa aku enggak? Kenapa aku gak pernah seberuntung mereka sih?” Ekor mataku mendapati dia menghapus beberapa tetesan kecil di ujung indera penglihatannya.
Ku alihkan pandanganku dari benda tak bernyawa yang sedari tadi aku beri perhatian ekstra lebih. Benda berwarna hitam yang tercipta indah di wajahnya ku pandangi lekat-lekat. Mungkin dengan itu, air duka yang mulai membanjiri wajahnya bisa menghilang secepat kecepatan cahaya. Tapi nyatanya pandanganku yang begitu menusuk malah membuat dia semakin menangis. Sedikitpun aku tak ada niatan untuk mengenyahkan air mata yang makin lama makin mengalir deras. Aku membiarkannya menikmati tangisan ayng sudah tercipta.
“Jangan pernah bilang Tuhan itu gak adil. Jangan salahkan Dia karena kamu sendiri gak mau berusaha lebih. Syukuri apa yang udah kamu dapat. Apapun itu. Usahamu cuma gitu-gitu aja. Gak ada peningkatan. Maka dari itu Tuhan pengen kamu cepet sadar dan bangkit. Bersyukurlah kamu baru gagal 2x. Di luar sana, mereka malah udah nyoba 3-5 kali dan selalu gagal. Kamu lebih beruntung dibanding temen-temen kita yang belum bisa sekolah dan mungkin bahkan gak bisa sekolah lagi.” Sergahku panjang lebar. Mataku masih belum lepas dari manik matanya. Aku ingin menusuk dia bukan hanya dengan perkataanku tapi juga dengan mataku.
Ku lirik jam berbentuk shuttlecock di dinding kamar. Waktu hampir menunjukkan jam 12 siang. Di luar sana pasti matahari sedang menunjukkan kehebatannya memancarkan sinar dan mengeluarkan suhu terpanas dibanding pagi tadi.
Aku masih ingat bebebapa kunci sukses yang pernah diutarakan ibu. Seseorang kalau ingin sukses pertama harus ada niat yang besar. Setelah itu barulah membangun semangat yang luar biasa, usaha besar dan tak kenal lelah, serta do’a yang tak berkesudahan. Jika semua resep tersebut telah tersaji dan ternyata belum mendapatkan hasil yang memuaskan, sebaiknya kita tinjau ulang. Kita observasi terlebih dahulu. Mungkin ada suatu kesalahan atau mungkin masih ada kekurangan.
Dan, yang terpenting jangan pernah menyalahkan keadaan. Kalau kita menyalahkan keadaan, keadaan itu tak akan pernah bisa berubah. Kitalah yang seharusnya beradaptasi dengan keadaan yang sudah lama tercipta. Bukan malah keadaan yang beradaptasi dengan kita.
“Des, tolong bantu aku biar semangat, usaha, dan do’aku lebih dari yang kemarin-kemarin. Aku harus buktiin gak cuma orang kaya yang bisa sekolah. Orang biasapun bisa sekolah juga termasuk di PTN Favorit. Aku sadar rezeki setiap orang berbeda-beda.” Optimisnya kembali muncul. Secercah sinar mulai menghiasi hatinya, hatiku, dan kamarku.
Sebenarnya aku kurang setuju dengan anggapan yang dia lontarkan. Namun aku lebih memilih untuk diam. Rasanya otakku sudah tak mampu lagi untuk berpikir. Panasnya matahari ternyata sampai masuk ke kamarku menembus jendela-jendala yang tertata rapi di ujung barat. Suhu AC sudah aku kecilkan sedemikian rupa agar panas berkurang tapi ternyata tak mempan. Panas hari ini sungguh luar biasa. Mungkin Cindy merasakan panas yang lebih dari yang ku rasa.
****
Sebuah impian harusnya mampu membuat seonggok daging bernyawa lebih bersemangat agar impian-impian tersebut dapat digapai. Seseorang harus membungkus sebuah usaha, do’a, keyakinan, semangat, keikhlasan, percaya diri, dan pikiran positif agar perjalanan untuk mendapatkan sebuah impian lebih mudah.
Kunci lain agar kita bisa sukses adalah selalu melihat ke bawah karena banyak orang yang tak seberuntung kita. Salah satunya adalah dengan cara beramal. Beramal juga dapat mempermudah jalan kita menuju gerbang kesuksesan karena dengan tindakan tersebut kita sudah bersyukur dengan segalanya.
“Beranilah dalam mengambil sebuah keputusan. Seenggaknya kamu udah nyoba buat dapetin impian kamu.” Ucapku di sela-sela kesibukan membantu Cindy untuk mendaftar kuliah di sebuah politeknik negeri di Surabaya.
“Hargailah Tuhan agar jalanmu dipermudah. Dan jangan pernah kamu meremehkan kekuatan do’a.” Lanjutku.
Ku lihat di depan gedung D3 Teknik Informatika banyak yang berlalu lalang. Entah apa yang dilakukan aku tak tahu. Sebentar lagi aku dan sahabatku ini akan seperti mereka.
Aku terkejut karena tiba-tiba ada seseorang yang memelukku. Tanpa berpikir lagi aku segera membalas pelukannya. Perasaan haru mulai menggerogoti tubuh kami. Inilah yang dinamakan persahabatan. Seseorang akan selalu ada saat sahabatnya berada dalam posisi yang kurang atau sudah beruntung. Tapi setiap sahabat menunjukkan perhatiannya dengan cara yang berbeda-beda, pun denganku dan Cindy.
“Cahaya Desaula. Nama seseorang adalah sebuah do’a dari kedua orangtuanya. Di saat aku belum bisa bangkit kamu selalu ngasih support aku dengan caramu sendiri dan yang pasti kamu selalu menyikapi semua hal yang tercipta dengan cara yang positif. Beruntung aku punya sahabat kayak kamu, Des.”
“Jangan berterimakasih sama aku. Berterimakasihlah pada Tuhan. Sejatinya musuh terbesar kita adalah diri sendiri.”
****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan jejak sesuai cerita diatas. Semoga bermanfaat.

And thanks for your visiting! :)