“Enak ya kamu
udah dapet sekolah baru. Jadi gak bingung lagi kayak aku.”
“Alhamdulillah.”
Jawabku sekenanya.
“Aku udah gak
kuat. Aku udah daftar SNMPTN Undangan ternyata ditolak. Aku juga udah ikut tes
SNMPTN Tulis, dan malangnya aku ditolak lagi. Nasib nasib.” Lanjutnya tanpa
menghiraukan jawabanku yang hanya satu kata tersebut.
Setelah dia,
Cindy, berkata seperti itu, aku hanya diam. Mulutku mati, tapi hati dan
telingaku sebenarnya hidup. Aku masih menyimak lantunan yang sejak tadi keluar
dari mulutnya. Aku diam bukan berarti aku meremehkan apa yang dia bicarakan
tapi lebih karena belum saatnya aku berbicara.
“Aku udah gak
kuat banget, Des. Rasanya semangatku buat cari sekolah lagi udah gak ada. Aku
udah kecewa sama keadaan.” Raut wajahnya menunjukkan beban yang semakin lama
semakin berat. Padahal aku berharap setelah dia bercerita, bebannya semakin
berkurang walau hanya sedikit.
“Udah? Cukup? Simple aja sih. Kalo emang kamu
udah gak ada semangat, yaudah gak perlu sekolah. Gitu aja kok diambil pusing.” Pedas.
Aku yakin itu yang dia rasakan. Mungkin perkataanku lebih pedas dibanding
sambal yang sering dia lahap. Tak hanya pedas di mulut tapi mungkin juga di
hati. Ya, tanpa sengaja aku sudah menusuk ulu hatinya. Memang beginilah caraku
untuk menyadarkan seseorang yang keras kepala dan kurang bersyukur sepertinya.
“Aku udah usaha
tapi hasilnya ya gini-gini aja. Tuhan kok gak adil sih sama aku? Temen-temenku
aja banyak yang diterima di sekolah ini itu. Tapi kenapa aku enggak? Kenapa aku
gak pernah seberuntung mereka sih?” Ekor mataku mendapati dia menghapus
beberapa tetesan kecil di ujung indera penglihatannya.
Ku alihkan
pandanganku dari benda tak bernyawa yang sedari tadi aku beri perhatian ekstra
lebih. Benda berwarna hitam yang tercipta indah di wajahnya ku pandangi lekat-lekat.
Mungkin dengan itu, air duka yang mulai membanjiri wajahnya bisa menghilang
secepat kecepatan cahaya. Tapi nyatanya pandanganku yang begitu menusuk malah
membuat dia semakin menangis. Sedikitpun aku tak ada niatan untuk mengenyahkan
air mata yang makin lama makin mengalir deras. Aku membiarkannya menikmati
tangisan ayng sudah tercipta.
“Jangan pernah
bilang Tuhan itu gak adil. Jangan salahkan Dia karena kamu sendiri gak mau
berusaha lebih. Syukuri apa yang udah kamu dapat. Apapun itu. Usahamu cuma
gitu-gitu aja. Gak ada peningkatan. Maka dari itu Tuhan pengen kamu cepet sadar
dan bangkit. Bersyukurlah kamu baru gagal 2x. Di luar sana, mereka malah udah
nyoba 3-5 kali dan selalu gagal. Kamu lebih beruntung dibanding temen-temen
kita yang belum bisa sekolah dan mungkin bahkan gak bisa sekolah lagi.” Sergahku
panjang lebar. Mataku masih belum lepas dari manik matanya. Aku ingin menusuk
dia bukan hanya dengan perkataanku tapi juga dengan mataku.
Ku lirik jam berbentuk
shuttlecock di dinding kamar. Waktu hampir menunjukkan jam 12 siang. Di luar
sana pasti matahari sedang menunjukkan kehebatannya memancarkan sinar dan
mengeluarkan suhu terpanas dibanding pagi tadi.
Aku masih ingat
bebebapa kunci sukses yang pernah diutarakan ibu. Seseorang kalau ingin sukses
pertama harus ada niat yang besar. Setelah itu barulah membangun semangat yang
luar biasa, usaha besar dan tak kenal lelah, serta do’a yang tak berkesudahan.
Jika semua resep tersebut telah tersaji dan ternyata belum mendapatkan hasil yang
memuaskan, sebaiknya kita tinjau ulang. Kita observasi terlebih dahulu. Mungkin
ada suatu kesalahan atau mungkin masih ada kekurangan.
Dan, yang terpenting
jangan pernah menyalahkan keadaan. Kalau kita menyalahkan keadaan, keadaan itu
tak akan pernah bisa berubah. Kitalah yang seharusnya beradaptasi dengan
keadaan yang sudah lama tercipta. Bukan malah keadaan yang beradaptasi dengan
kita.
“Des, tolong
bantu aku biar semangat, usaha, dan do’aku lebih dari yang kemarin-kemarin. Aku
harus buktiin gak cuma orang kaya yang bisa sekolah. Orang biasapun bisa
sekolah juga termasuk di PTN Favorit. Aku sadar rezeki setiap orang
berbeda-beda.” Optimisnya kembali muncul. Secercah sinar mulai menghiasi hatinya,
hatiku, dan kamarku.
Sebenarnya aku
kurang setuju dengan anggapan yang dia lontarkan. Namun aku lebih memilih untuk
diam. Rasanya otakku sudah tak mampu lagi untuk berpikir. Panasnya matahari
ternyata sampai masuk ke kamarku menembus jendela-jendala yang tertata rapi di
ujung barat. Suhu AC sudah aku kecilkan sedemikian rupa agar panas berkurang
tapi ternyata tak mempan. Panas hari ini sungguh luar biasa. Mungkin Cindy
merasakan panas yang lebih dari yang ku rasa.
****
Sebuah impian harusnya
mampu membuat seonggok daging bernyawa lebih bersemangat agar impian-impian
tersebut dapat digapai. Seseorang harus membungkus sebuah usaha, do’a,
keyakinan, semangat, keikhlasan, percaya diri, dan pikiran positif agar
perjalanan untuk mendapatkan sebuah impian lebih mudah.
Kunci lain agar
kita bisa sukses adalah selalu melihat ke bawah karena banyak orang yang tak
seberuntung kita. Salah satunya adalah dengan cara beramal. Beramal juga dapat
mempermudah jalan kita menuju gerbang kesuksesan karena dengan tindakan
tersebut kita sudah bersyukur dengan segalanya.
“Beranilah dalam
mengambil sebuah keputusan. Seenggaknya kamu udah nyoba buat dapetin impian
kamu.” Ucapku di sela-sela kesibukan membantu Cindy untuk mendaftar kuliah di
sebuah politeknik negeri di Surabaya.
“Hargailah Tuhan
agar jalanmu dipermudah. Dan jangan pernah kamu meremehkan kekuatan do’a.”
Lanjutku.
Ku lihat di
depan gedung D3 Teknik Informatika banyak yang berlalu lalang. Entah apa yang
dilakukan aku tak tahu. Sebentar lagi aku dan sahabatku ini akan seperti
mereka.
Aku terkejut
karena tiba-tiba ada seseorang yang memelukku. Tanpa berpikir lagi aku segera
membalas pelukannya. Perasaan haru mulai menggerogoti tubuh kami. Inilah yang
dinamakan persahabatan. Seseorang akan selalu ada saat sahabatnya berada dalam
posisi yang kurang atau sudah beruntung. Tapi setiap sahabat menunjukkan
perhatiannya dengan cara yang berbeda-beda, pun denganku dan Cindy.
“Cahaya Desaula.
Nama seseorang adalah sebuah do’a dari kedua orangtuanya. Di saat aku belum
bisa bangkit kamu selalu ngasih support aku dengan caramu sendiri dan yang pasti
kamu selalu menyikapi semua hal yang tercipta dengan cara yang positif.
Beruntung aku punya sahabat kayak kamu, Des.”
“Jangan
berterimakasih sama aku. Berterimakasihlah pada Tuhan.
Sejatinya musuh terbesar kita adalah diri sendiri.”
****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan jejak sesuai cerita diatas. Semoga bermanfaat.
And thanks for your visiting! :)