Cklek.
Mataku langsung terbuka. Aku tahu
siapa yang baru saja membuka pintu kamarku, walaupun mataku masih
terpejam. Hanya beliaulah yang dapat
membangunkanku dengan hal ini.
“Mbak, cepet bangun. Udah waktunya
sholat shubuh. Udah gede kok bangun sendiri aja gak bisa.”
“Iya buk.” Jawabku pendek. Aku
bergegas bebersih diri dan mengambil air wudhu. Kalau tak begitu bukan hanya
waktu yang meninggalkanku tapi juga aku akan dapat hadiah dari ibu. Hadiah yang
sangat tak menarik tentunya.
“Mbak, nanti habis nganter ibu kamu
masak kepiting ya buat adek. Ibu tadi kesiangan jadi gak sempat masak.” Begitu
kata ibu setelah aku selesai memberi sapaan pagi untuk Tuhan.
“Aduh, ibu ini. Bikin males aja.
Capek tahu habis nganter ibu ke Bungurasih terus masak. Iya kalo terminalnya
deket. Ini jauh men. Hhhh.” Batinku
setelah mendapat perintah darinya.
****
Sesungguhnya setiap anak pasti
menyayangi orang tuanya. Sangat menyayangi mereka terutama ibu dari
masing-masing melebihi apapun yang ada di dunia ini. Tapi sering kali hati dan
keinginan tak pernah jalan beriringan. Sering kali mereka berjalan berlawanan.
Pun denganku. Seorang anak yang sampai saat ini hanya bisa merepotkan orang
tua, mau dimengerti oleh mereka namun tak mau mengerti mereka.
Saat beliau membutuhkan bantuanku,
yang bisa ku lakukan hanya mengeluh. Memang, aku melakukan semua tugas-tugas
yang mereka inginkan. Tapi aku lebih sering mengeluh saat mengerjakan pekerjaan
yang mereka inginkan. Beginilah seorang anak yang sholehah? Sering kali aku
merasa bersalah jika terus menerus seperti ini. Apa yang dapat ku berikan pada
mereka? Mengeluhkah yang bisa ku berikan untuknya? Itukah balasanku untuk
seseorang yang sudah melahirkan, membesarkan, merawat, dan menyayangiku? Apa
masih pantas beliau menyayangiku dengan sangat? Semua pertanyaan itu selalu
menghantuiku.
Ibu,
ketahuilah. Sebenarnya aku sangat mencintai dan menyayangi ibu. Apa karena baru
5 tahun kita berada di atap yang sama jadi hubungan kita seperti ini? Padahal
aku ngin dekat dengan ibu. Sangat dekat. Padahal aku ingin cerita kita seperti
cerita mereka, teman-temanku dan ibunya. Aku ingin cerita tentang sekolahku,
aku ingin cerita tentang bulutangkisku, aku ingin cerita tentang seorang atlet
yang sedang dekat denganku, aku ingin cerita semuanya tentang hari-hariku.
Sesederhana itulah yang ku inginkan bu. Tapi mengapa justru yang sederhana
malah susah untuk direalisasikan?
Aku hanya berani meuliskan itu di
buku harianku. Berharap dengan itu, ibu tahu apa yang ku rasakan tanpa
menceritakan segalanya secara langsung. Aku tak berani jika harus menceritakan
semuanya. Entah mengapa aku juga tak mengerti. Padahal aku ingin dekat
dengannya. Benar kata orang-orang, komunikasi sangatlah penting.
Hari ini ibu kembali masuk kerja.
Beliau kerja di sebuah perusahaan rokok. Dari sanalah beliau dapat membantu
keuangan bapak. Pagi ini saat aku mengantar beliau ke terminal Bungurasih yang
terletak di perbatasan Surabaya-Sidoarjo aku melihat ada yang beda. Matanya
menunjukkan beliau kurang sehat. Tapi karena semangatnya yang tak pernah
hilang, kesakitan itu tertutupi walaupun masih menyisakan sedikit di mata
indahnya. Aku sudah melarangnya untuk tidak berkerja, tapi ibu menolak dengan
alasan tanggung jawab dan juga profesionalisme. Sungguh aku malu dengan ibu.
Surabaya-Pandaan bukanlah jarak yang dekat. Apalagi harus berjubel dengan
beberapa penumpang bus patas bergambar panda. Belum lagi kemacetan yang sering
terjadi di Porong. Dan juga bau dari lumpur lapindo. Tapi beliau tetap
melakukan itu untuk aku dan adikku. Seharusnya aku bisa seperti beliau bahkan
kalau bisa melebihi beliau. Semuanya.
“Tuhan, tolong jaga ibu. Semoga
keadaan ibu semakin membaik, bukan malah semakin memburuk. Semoga keikhlasan
ibu untuk mencari rezekimu Kau balas dengan kebaikanmu.” Ku ucapkan do’a itu
saat aku melewati bundaran waru.
****
Ternyata Tuhan tak mengabulkan
do’a-do’aku. Untuk kedua kalinya ibu harus dirawat di rumah sakit. Penyakit yang
menyerangnya ternyata belum hilang. Padahal dulu dokter menyatakan bahwa
keadaan ibu sudah membaik dan sel-sel yang mengganggu beliau sudah hilang. Aku
kurang paham dengan penyakit yang bersarang di badan ibu.
Hampir satu minggu dirawat, tak ada
kemajuan yang berarti. Hanya transfusi darah yang dilakukan padahal keadaan ibu
semakin menurun. Tak ada pemberitahuan khusus dari dokter. Aku sendiri heran
apa seperti inilah pelayanan disini? Hari ke-6 keluargaku minta ibu dipindahkan
ke rumah sakit lain karena penanganan rumah sakit ini jauh dari kata baik.
Akhirnya, ibuku pindah ke rumah
sakit kedua. Disana beliau mendapat penanganan terbaik dari dokter terbaik.
Ternyata disinilah professor yang beliau cari. Professor yang juga sebagai guru
besar Universitas Airlangga itu diharapkan diberi ilmu lebih oleh Tuhan untuk
menyembuhkan ibu.
Dua hari kemudian, keluargaku dipanggil.
Professor Budi mengatakan bahwa ibu harus ditangani secepat mungkin.
“Bapak, kenapa baru sekarang ibu
dibawa kesini? Penyakitnya sudah parah, pak. Ibu menderita AML. Leukimia akut.
Ibu harus segera dikemoterapi. Kalau perlu besok langsung saya kemo. Jika
tidak, tak ada lagi harapan untuk istri anda. Jika kemo dilakukan, masih ada
harapan 50 persen untuk beliau.”
Aku terdiam di tempat duduk. Inikah
yang dirasakan beberapa orang di televisi? Aku melihat saudara mereka menderita
leukemia, sekarang aku yang merasakan itu. Aku masih tak percaya ibu menderita
leukemia akut. Aku tak sanggup jika harus kehilangan beliau.
“Jika yang terbaik adalah
kemoterapi, saya sekeluarga siap dokter. Insyaallah istri saya juga siap.”
Esoknya, beberapa cairan masuk melalui
infus yang menancap dalam tubuh ibu. Ada yang berwarna merah, orange, dan bening.
Aku baru tahu ternyata infus untuk kemoterapi ternyata sangat beragam. Selama 7
hari berturut-turut ibu harus melewati masa-masa sulit dengan cairan-cairan
yang bercampur dengan darahnya.
Semakin hari keadaan ibu semakin
menurun. Kemoterapi telah selesai dilakukan. Akibat dari kemo tersebut, ibu
sering kali mimisan. Jika aku menyuapinya makan, beliau sering merasakan mual.
Alhasil beliau makan hanya sedikit. Padahal dibutuhkan nutrisi yang banyak agar
keadaan ibu membaik.
Cairan berwarna merah pekat sering muncul
dari hidungnya. Tak jarang juga ibu batuk dan yang keluar adalah darah beku
karena mimisan yang tak pernah berhenti. Aku sungguh tak tega melihat beliau
menderita seperti ini. Aku juga semakin tak tega karena sejauh ini ibu tak
pernah mengeluh, termasuk saat kemoterapi berjalan. Padahal kemoterapi sangat
sakit. Darah yang bercampur dengan cairan itu pasti bereaksi dan membuat tubuh
sangat tak nyaman. Aku sangat bangga mempunyai ibu seperti beliau. Tak pernah
mengeluh dan semangat untuk sembuh sangat tinggi. Senyumnya juga tak pernah
lepas dari bibir. Beberapa dokter dan perawat berdecak kagum karena semangat
beliau.
****
“Apa arti dari tanda ini? Kenapa
warnanya berwarna merah dan hanya ada di depan kamar ibu?”
Beberapa hari ini perasaanku sangat
aneh. Puncaknya hari ini. Setiap pagi dan sore para perawat berkunjung ke
kamar-kamar pasien. Tapi ada yang beda untuk kali ini. Senyum mereka terkesan dipaksakan.
Aku bisa melihat mata mereka menunjukkan kesedihan walau tak seberapa kentara.
“Mbak Pia, selalu do’ain ibu ya.
Ibu butuh support. Bisikkan kalimat-kalimat Allah di telinga beliau. Bacakan
surat Yaasin disebelah beliau terutama saat adzan mahgrib akan berkumandang.”
“Dek, kamu yang sabar ya. Tetep
do’ain ibu ya dek.”
“Jangan lupa do’ain ibu ya mbak.
Ibu butuh kamu.”
Aku heran dengan mereka. Kenapa
raut wajah mereka tak ada yang memancarkan kebahagiaan dan kenapa mereka
berkata seperti itu seolah-olah ibuku akan tiada?
****
From: +6281235884xx
Pi, sekarang kamu ke rumah sakit.
Kamu jemput tante juga.
+6285877450xxx is calling
“Assalamualaikum, kenapa tan?”
“Waalaikumsalam. Kamu sekarang
jemput tante di rumah ya. Kita ke ibu sekarang.”
Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa
tiba-tiba perasaanku tak enak? Tadi siang aku bermimpi ada beberapa keranda
mayat. Sekarang tiba-tiba saudara-saudaraku meminta aku kembali ke rumah sakit.
Aku hanya bisa berharap semoga tak ada suatu hal buruk yang terjadi.
Setibanya di rumah sakit, aku
melihat ibu sudah tak berdaya. Mata beliau terpejam tapi nafas beliau masih
ada. Setelah meletakkan tas, aku segera duduk disamping ibu. Aku bisikkan
kalimat hasbunallah, istighfar, surat-surat pendek, semuanya. Tak lupa juga aku
membacakan surat Yaasin. Walau ibu tak sadar, aku tahu ibu pasti mendengarkan
semua bisikanku.
Kulihat, ibu meneteskan air mata.
Aku tak tahu apa yang sebenarnya beliau rasakan.
****
“Allah. Allah. Allah. Allah.
Allah.”
Aku segera bangun dari tidurku yang
sangat tak nyaman. Perasaanku mulai tak enak. Aku takut suatu hal akan terjadi
dini hari ini.
Aku memegang kaki dan tangan ibu.
Dingin. Kemudian suster masuk memeriksa keadaan ibu. Suhu badannya normal tapi
tekanan darahnya menurun drastis.
“Bapak, saya panggilkan dokter jaga
dulu untuk memastikan keadaan ibu.”
Detik demi detik terasa sangat
lama. Aku benci jika harus terjebak dalam keadaan seperti ini.
“Bapak, saya sudah memeriksa
keadaan ibu. Maaf sebelumnya, denyut nadi ibu telah berhenti. Semoga beliau
tenang disana.”
Aku masih tak percaya dengan semua
ini. Ku dektai jenazahnya. Tak ada setetes air mata yang keluar dari mataku.
Aku tak tahu mengapa aku bisa setegar ini. Atau aku tak peduli dengan kematian
ibu? Padahal ku lihat bapak mulai menangis. Sedangkan aku? Aku masih terdiam,
aku masih tak percaya dengan hal yang baru saja terjadi. Semuanya terlalu
mendadak.
****
Ramadhan dan Idul Fitri tahun ini
sangat berbeda. Ibu sudah kembali ke tempatnya berasal. Tuhan sudah
mengambilnya. Tak ada apapun yang bisa ku lakukan selain berdo’a agar beliau
mendapat tempat terindah di sisi-Nya.
****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan jejak sesuai cerita diatas. Semoga bermanfaat.
And thanks for your visiting! :)