Laman

Selasa, 25 November 2014

Sekedar Mengingat (Kutemukan Bahagiaku)

I found here
Hai, kamu, seseorang yang sempat mengisi hati beberapa waktu yang lalu. Aku hanya sekedar ingin mengetahui bagaimana kabarmu. Baik di sana?

Masih ingat hal-hal yang terjadi satu tahun yang lalu? Akankah kamu mengingatknya seperti halnya aku mengingat kejadian kala itu?

Mungkin cerita ini bermula dari tempat kami mencari kenyamanan baru di kampus. Tresno jalaran soko kulino? Kedengarannya memang benar seperti itu. Semua bermula dari kebiasaan.

Ketika tenggelam dalam sendu, kamu datang untuk menghapus segalanya yang entah bermula dari mana. Kamu membawa senyum yang dapat menghapus segala duka. Kamu membawa damai dalam kalutnya cerita. Hingga pada akhirnya kenyamanan itu mulai timbul. Mencari ketika kamu tiba-tiba menghilang tak ada kabar. Ketika bertemu, malu-malu menanyakan “Kamu ke mana aja kok gak ada kabar?”

Hei, apa kalian pernah merasakan apa yang pernah aku rasakan? Kamu akan tersenyum ketika dia menyapamu? Pasti. Kamu akan bahagia sekedar mendapat sapa “Hei” lewat SMS? Benar bukan? Diam-diam dari jauh kamu mengamati dia walau sekedar ingin melihat dia lewat depan kelasmu bukan? Mulanya pasti seperti itu. Yang tertulis dalam cerita hanya bahagia, bahagia, dan bahagia tanpa berkesudahan. Segalanya berjalan lancar. Hubungan yang baik diselimuti dengan komunikasi yang baik.  Hingga kemudian kebahagian yang sempat tertulis di cerita perlahan-lahan mulai berubah. Sedikit-sedikit, suka mulai menjadi duka. Duka menjadi lara. Tapi bukan berarti sama sekali tak ada kebahagiaan yang menyelimuti hati.

Komunikasi itu penting. Setuju dengan kalimat kecil itu? Tanpa komunikasi, hubungan yang dijalani tak akan pernah menjadi baik. Sebaik-baiknya hubungan tapi jika tak ada komunikasi yang baik, tak akan membuahkan hasil yang baik pula walau sudah ada kepercayaan diantara satu dengan yang lainnya.


Hingga pada akhirnya, akan menumbuhkan pertengkaran-pertengkaran kecil yang seharusnya tidak terjadi. Tidak terjadi jika terjalin komunikasi yang baik diantara keduanya. Ah, mungkin aku yang salah. Mungkin aku yang terlalu seperti anak kecil, yang mencarimu ketika menghilang. Marah tak jelas ketika dua hari tak ada kabar. Wajar bukan?

Positif thinking. Hanya itu yang mampu aku terapkan. Aku belajar satu hal di sini.

Berjalan. Berjalan. Berjalan. Begitu banyak kenangan yang kamu tumbuhkan. Dari satu tempat ke tempat yang lain. Memiliki kenangan tersendiri. Selalu mengingat ketika melewati tempat-tempat itu. “Aku pernah di sini sama kamu.” “Aku pernah makan di sini sama kamu.” “Aku pernah menghabiskan waktu berdua di sini sama kamu.”

Beberapa kota kecil di Jawa Timur, Bandung, dan Jogjakarta. Cerita kami pernah tertulis di sana dengan manis. Perjalanan-perjalanan itu akan selalu menjadi kenangan yang tak akan terlupakan. Hujan pun tak mampu menghapus kenangan-kenangan itu. Hujan malah mengabadikan mereka.

Mungkinkah aku terlalu berharap pada kamu? Pada hubungan kita yang entah mengharapkan kita untuk bersama atau tidak? Padahal aku tahu, perkenalan selalu diakhiri dengan perpisahan. Mereka bersanding berdua tanpa bisa dipisahkan. Tanpa bisa dihapuskan satu diantara keduanya. Lalu mengapa aku mendekati perkenalan itu yang menyebabkan perpisahan?

Hal yang aku takutkan terjadi. Perpisahan itu datang tanpa mau dicegah. Datang dengan alasan “aku tak mau membuatmu sakit (lagi)”. Lalu aku bisa apa? Mencoba merakit kembali patahan-patahan yang telah tercecer? Tak mungkin jika aku meraciknya seorang diri. Sebab yang melalui hubungan ini adalah kita. Bukan aku atau kamu.

Lama tidaknya hubungan tidak ada korelasinya pada lama tidaknya kamu akan berpindah. Ternyata mereka tidak saling berkaitan. Ketika kamu nyaman dengan yang satu, pasti kamu akan mempertahankan kenyamanan itu. Tapi jika ternyata kenyamanan itu tak mau lagi beradu pandang denganmu, terpaksa kamu harus berpindah.

Sekedar mengingatmu.

Walau saat ini semua tinggal cerita, tapi aku masih mengingatnya. Mengingat setiap lekukan cerita di berbagai tempat yang menyimpan kenangan kita, berdua. Makan berdua kita di berbagai sudut sekitaran kampus, tawamu ketika menggendong adik-adik kecil itu, kepanikanmu ketika aku jatuh sakit, perbincangan kita mengenai senja manis di Jogja, cara matamu memandang yang menenangkan, caramu menghibur dengan selarik lagu, dewasamu yang timbul terlebih ketika kondisi kalutku terjadi, kawanan ombak yang menghiasi tawa kita di pantai, perjalanan kecil di sudut kota Bandung, kenangan yang tak akan pernah terhapus di kota yang sangat ku rindukan; Jogjakarta.

Aku masih mengingat semua itu dengan baik. Sampai saat itu.

Aku pernah mengingatnya. Mengingat dengan jelas. Sebab kamu pernah menjadi bagian termanis dalam kehidupanku menuju kesempurnaan. Beberapa waktu yang lalu. Walaupun aku mengingatnya, bukan berarti aku masih berdiri bertahan, sendirian. Aku juga ingin mencari bahagiaku. Sebagaimana kamu juga (mungkin) telah menemukan bahagiamu.

Tuhan
Terima kasih telah mempertemukan kami dengan tulisan manisMu
Karenanya aku sempat merasakan suka
Walau setelahnya ternyata aku merasakan duka
Tapi aku bersyukur,
setidaknya aku pernah memperjuangkannya

            Sekarang aku percaya, semuanya telah berakhir. Bahagialah kamu dengan bahagiamu. Aku  juga pasti akan bahagia dengan bahagiaku.

            Terima kasih pernah menuliskan cerita indah dan berkesan dalam perjalanan hidupku. Selamat tinggal, beberapa bulan yang sangat manis.


Dari aku yang sempat tertatih untuk mengikhlaskanmu
- 12 November 2014


2 komentar:

  1. Oala bes,masi ada serpihan serpihan kenangan yg g bisa hilang rupanya :D
    sampe nangis baca ini artikel :P

    BalasHapus
    Balasan
    1. haha alhamdulillah bisa bikin orang nangis :D

      Hapus

Tinggalkan jejak sesuai cerita diatas. Semoga bermanfaat.

And thanks for your visiting! :)