Laman

Sabtu, 17 Januari 2015

(Jika) Kau Masih Menetap

Ku buka album biru
Penuh debu dan usang
Kupandangi semua gambar diri
Kecil bersih belum ternoda

Pikirku pun melayang
Dahulu penuh kasih
Teringat semua cerita orang
Tentang riwayatmu

Kata mereka, diriku selalu dimanja
Kata mereka, diriku selalu ditimang



Hai, Ibu. Apa kabar di sana?
Baik-baik saja bukan? Ah, kenapa selalu pertanyaan itu yang kutanyakan ketika aku mulai menulis? Mungkin karena aku tak pernah mengetahui kabarmu lagi? Begitukah, Ibu? Walaupun aku tak tahu bagaimana keadaanmu disana, ku harap kau memang baik-baik saja. Sebab aku (hanya) mengirimkan cerita dalam do'a tiap kali selesai bersujud. Ku harap kau tahu, Ibu. Pun sampai saat ini masih ada tangis yang datang tiap kali aku menyebut namamu dalam sujudku. Berharap semua itu dapat mengobati segala luka yang sampai kapan pun tak akan pernah terobati. Sampai kapan pun dan oleh siapa pun, sama sekali tak ada yang bisa mengobati. Kecuali kau, Ibu. Wanita cantik yang tak akan pernah kembali ke dunia ini lagi yang bisa mengobati perihal semua luka ini.

Hei, Ibu. Apa yang kau lakukan di sana sekarang? Mempersiapkan segala sesuatu untuk keluarga kita nantinya? Ya, aku berharap akan itu, Ibu. Sebab kau segalanya dalam mempersiapkan hal yang paling sederhana hingga hal yang terumit.

Ibu, ketika aku menulis ini, aku amat suka mengawalinya dengan lagu ini. Bunda. Lagu manis yang selalu aku sandingkan dengan semua kerinduan akan seseorang yang pernah melahirkanku. Ah, betapa merindunya ketika kita pergi berdua sekadar aku mengantar dan menjemputmu bekerja, pergi ke supermarket atau ke pasar untuk membeli kebutuhan dapur, ide wisata keluar kota setiap bulannya, dan ide-idemu lainnya. Aku merindukan itu, Bu. Sangat merindukan.

Kau tahu, Ibu? Sering kali aku berada di keramaian seperti di pusat perbelanjaan, toko buku, taman, dan di manapun itu. Aku mengamati mereka. Diam-diam, aku sering cemburu pada mereka. Pada mereka yang masih bisa menggelayut manja ketika minta ini itu, tapi sayangnya membentak karena keinginannya tak dituruti. Cemburu pada mereka yang belanja berdua. Cemburu pada mereka yang pergi berdua ke toko buku; memilih-milih buku apa yang sekiranya pantas untuk dibaca. Cemburu pada mereka yang masih bisa menanyakan ini itu pada ibu, mama, atau bunda mereka. Cemburu pada mereka yang masih punya waktu untuk ibu mereka. Ya, aku begitu cemburu, Ibu. Bolehkan sekali saja aku merasa cemburu akan itu? Pantaskah mereka membentak? Pantaskah mereka mementingkan hal lain selain ibu mereka? Pantaskah mereka menangisi orang lain padahal mereka jarang sekali menangisi ibunya sendiri? Pantaskah? Bu, bagiku itu tak pantas dilakukan. Sebab aku sudah pernah merasakan kehilangan yang amat perih itu. Sebab mereka belum pernah meraskan itu. Sebab mereka belum tahu bagaimana rasanya kehilangan seseorang yang berjuang mempertahankan kehidupan untuk anaknya.

Tiga tahun yang (masih) menyakitkan. Bagaimana jika kau masih ada sampai saat ini di samping kami? Pasti begitu menyenangkan. Belanja bersama, wisata kuliner, olahraga bersama, menonton teve bersama, memasak berdua, dan kegiatan-kegiatan kecil lainnya. Dan pasti omelan-omelan yang aku rindukan juga akan mewarnai kehidupan kita; jika kau masih ada. Apalagi penyebabnya kalau bukan kesibukanku di kampus? Kepulanganku yang sering terlalu larut. Pasti kau akan menungguku lalu memberiku nasehat ini itu. Pasti kau juga akan tetap mengajariku berenang walau umurku sudah mencapai kepala dua. Pasti kau akan mencerca kenapa jika berenang aku tak lebih pandai dari adik. Ah, ijinkan aku menjadi pengkhayal sejenak, Bu.

Bu, aku bersyukur mewarisi darah atlet-mu. Walau aku tak sepandai kau tapi aku tetap senang akan itu. Walau olahraga yang bisa kumainkan hanya satu dua. Aku bangga memiliki darahmu.

Tahukah kau, Ibu? Semester 6 sudah ada di depan mata. Itu berarti, insya Allah tiga semester lagi aku akan menyelesaikan kuliahku. Do'akan anakmu yang tak pernah sempurna ini. Anak lemah yang kau tinggalkan beberapa tahun terakhir, yang masih berjuang hingga saat ini. Berjuang untukmu. Ya, tiga semester telah ada di depan mata. Tiga semester lagi aku akan memakai toga. Aamiin. Tapi siapa yang akan menempati tempatmu? Akankah kau datang hari itu? Barangkali kau ingin menyapaku sedetik saja. Memperlihatkan senyum penuh ketegasan yang selalu ku rindukan.

Maaf, aku menangis lagi, Bu. Padahal sedari tadi aku mencoba untuk menahan tangis itu. Tapi bayangan 3 semester lagi itu sedikit mengusik. Apalah arti kelulusku nanti jika tak ada kau di samping kami? Aku akan menunggu kedatanganmu, Bu. Akan aku tunggu.

Bu, bulan ini sepertinya akan menjadi cerita baru. Semoga aku bisa memulai cerita ini dengan manis. Mengakhirinya dengan manis pula. Semoga. Bulan ini aku mulai Kerja Praktek. Ah, jika saja kau berada di sini. Pasti aku akan banyak bertanya mengenai pekerjaan. Bagaimana cara bekerja yang baik dan benar. Bagaimana cara menyenangkan hati konsumen. Dan bagaimana-bagaimana yang lain. Dan lagi, bulan ini juga kami akan beranjak dari rumah kita. Berpindah untuk kesekian kalinya. Rumah yang kau tinggali sejak berpindah ke sini. Rumah yang baru saja aku tinggali selama 8 tahun. Baru sebentar aku di sini, tapi begitu banyak kenangan yang ditinggalkan. Kenanganku, kenanganmu, dan kenangan keluarga kita.

Oh, ternyata ada lagi bagian yang belum kuceritakan. Adik sekarang sudah tumbuh menjadi lebih dewasa dibanding teman-teman sepermainannya. Dia sudah mengerti hidup sejak kepergianmu. Sejak kepergian yang maha pedih itu, kami jarang sekali bertengkar. Pertengkaran itu sepertinya bisa dihitung dengan jari. Terkadang aku merindukan pertengkaran itu, yang selalu membuatmu murka. Tapi aku tahu, sudah bukan waktunya lagi kami seperti anak kecil. Setelah ini pula dia akan mulai lembaran baru. Do'akan dia diterima di SMP terbaik, Bu. Prestasinya juga tak pernah turun sejak kepergianmu. Ternyata dia tegar. Amat tegar. Dan sepertinya dia lebih tegar dibanding denganku. Anak baik, memang. Tapi sayangnya, Bu. Dia tak begitu suka dengan olahraga. Amat berbeda denganku yang menggilai olahraga. Dia mencintai seni. Sangat mencintai seni. Dia juga suka menulis, sama sepertiku. Menulis apa saja yang ingin kami tulis. Tulisannya pun bernyawa. Sempat aku menangis saat membaca tulisannya. Satu lagi, Bu. Haha. Maaf sepertinya ceritaku tak ada akhirnya. Sebab aku begitu merindumu. Merindu bercerita ini itu denganmu. Dia selalu menggodaku dengan kalimat yang pernah kau lontarkan, dulu.

"Wah, dapet nilai bagus nih. Mata pelajaran apa, Mbak?"
Taraaaa. Olahraga.

Ya, dia sering menggodaku seperti itu. Nilai teramat tinggi yang sepertinya kau berharap itu adalah pelajaran eksak. Ternyata malah pelajaran olahraga; yang amat kusukai.
  
Segini dulu ya, bu, untuk hari ini. Jangan enggan untuk membaca ceritaku dari sana. Berharap itu dapat menutupi rindumu dan rinduku. Selamat malam, Bu.

Sumber
Sumber
Sumber
Sumber
Sumber

Dari mahasiswa semester 6 yang amat merindukanmu.
Datanglah di hari wisudaku nanti.
Aku mengundangmu.
Aku menantimu.

3 komentar:

Tinggalkan jejak sesuai cerita diatas. Semoga bermanfaat.

And thanks for your visiting! :)