Selamat
malam malaikat cantik yang pernah menemani kehidupanku selama 19 tahun. Apa kabar
disana? Masih bisa melihat kami tersenyum? Ku harap begitu.
Aku ingin
mengenangmu lewat barisan kata ini. Mengenang malam itu, 23 Juni 2012. Malaikat
tahu? Aku tak akan melupakan detik-detik itu.
Malam sebelumnya,
22 Juni 2012 aku menginap di Rumah Sakit Darmo. Menemani dan menjaganya. Sering
kali dia terbangun, terbatuk-batuk karena darah kental yang bersarang di
mulutnya. Hidungnya pun tak pernah hilang dari tetesan-tetesan darah. Jadi terpaksa
hidungnya harus disumbat dengan kain kasa. Begitu menyiksa sepertinya.
Esok paginya
aku pulang. Bergantian dengan adik ibu untuk menjaganya. Tapi kali ini ada yang
berbeda.
“Nanti kamu
jaga lagi kan?”
“Loh, kan
sudah dari kemarin.” Sebenarnya aku ingin menjaganya, tapi aku tipikal orang
yang tidak tega melihar orang sakit.
Sebelumnya aku
diberi tugas oleh kakak ipar ibu. Membeli bayam merah kemudian bayam itu
dijadikan jus. Mungkin itu bisa memberi dampak positif untuknya, Ibu.
Sore
harinya aku berkeliling mencari bayam merah. Cukup sulit memang. Berbagai supermarket
banyak yang tidak mempunyai sayuran berwarna merah itu. Mungkin kebetulan sayurnya
habis, pikirku.
Setelah mencari
bayam tersebut yang akhirnya bisa ku dapatkan, aku memilih untuk tidak pulang
dulu. Mengisi perut lebih baik daripada nanti sakit dan tidak bisa membantunya
serta menemaninya di Rumah Sakit.
Nasi bakar.
Aku masih ingat nasi apa yang ku pesan dengan sahabatku. Dia, salah satu
sahabat yang menemani dan memberiku semangat terlebih saat aku berada di titik
terakhir seperti tanggal 23 Juni 2012.
Bip…
Sebuah
pesan singkat dari salah satu saudaraku.
Kamu jemput tante. Cepet ke rumah sakit.
Ada apa? Wajahku
mulai pucat. Makanan yang sudah aku pesan sudah tak bisa memikat hati.
“Kamu
jemput tante sekarang!”
“Ada apa? Kenapa
tiba-tiba gini?”
“Nanti
tante certain. Sekarang kamu cepet ke rumah tante.”
Aku dan
sahabatku segera membayar makanan dan minuman yang kami pesan. Di jalan aku
sudah tak bisa berpikir jernih. Motor yang ku kendalikan berkecepatan tinggi
dan bonus dari semua itu, aku hampir
menabrak beberapa kendaraan lain.
“Waktu
ayahmu jaga Ibu, Ibu sempat ngomong dengan orang lain. Tertawa dengan orang
lain. Ayahmu nangis.”
Deg! Apa dia yang jemput Ibu?
“Nak, kamu
ikhlaskan Ibu ya. Mungkin dengan begitu jalannya akan lebih mudah.”
Apa iya aku sudah berani mengikhlaskannya?
“Tante gak
tega lihat Ibu kayak gini. Jalan satu-satunya, kita hanya perlu
mengikhlaskannya. Cuma itu.”
Mungkin.
Aku masih
berdebat dengan hati dan otakku. Apa aku harus mengikhlaskannya? Apa aku rela
membiarkannya pulang? Tapi bukankah sejatinya setiap manusia akan pulang? Dan kembali
ke satu tempat?
Tuhan, jika ini memang terbaik. Silakan jemput Ibuku. Mungkin
dengan demikian beliau akan lebih tenang. Juga mungkin akan lebih baik. Untuknya
dan untuk kami.
Memasuki kamarnya,
aku berusaha menegarkan diri. Ibu? bu tersenyum melihat kedatangan kami. Aku berusaha
tersenyum.
“Mbak, hubungi
om-om mu yang di Jember sama Madiun ya! Suruh kesini sekarang. Ibu pengen
ngomong sesuatu.”
Tuhan, apa ini waktunya?
Dalam diam
aku mengambil ponsel. Berbagai pemikiran mulai berkecamuk.
“Om, tolong
ke Surabaya sekarang juga. Ibu pengen ngomong sesuatu.” Kalimat sama yang aku
utarakan untuk kedua kakak Ibu.
Mereka langsung
berangkat ke Surabaya. Sepertinya mereka juga mempunyai firasat sepertiku. Semoga ini hanya firasat.
20:00 WIB
Ibu. Tubuhnya
mulai kejang-kejang. Hingga akhirnya dia tak sadarkan diri.
Satu orang
pun yang berada di ruangan itu tak ada yang tenang.
“Nak, kamu
bawa Yaasin kan?
“Gak bawa
tante. Aku gak bawa tas. Coba aku pinjem ke suster.”
Ibu, maafkan aku. Tuhan, aku sudah siap jika ini yang
terbaik untuk kami.
“Suster
punya Yaasin? Atau Al-Quran?”
“Coba
suster cariin ya, Mbak.”
Suster-suster
disini sangat baik. Begitu dekat dengan keluarga pasien.
“Gak ada,
Mbak. Sudah dipindahkan semuanya. Maaf ya.”
“Iya.
Terimakasih, Suster. Maaf merepotkan.”
Ah, iya. Aku bisa makek ponsel Ibu.”
Beberapa jam
kemudian, kami bergantian membacakan do’a dan cerita di dekat telinganya. Mungkin
dengan begitu dia akan mendengar, terbangun, dan sehat kembali. Itu harapan
kami.
Di sela-sela
do’a yang keluar dari mulut kami, ibu meneteskan air mata dalam diamnya. Matanya
tertutup, tangannya pun tak memberikan isyarat apapun, apalagi terbangun.
Apa dia mendengar do’a kami Tuhan?
Semakin
lama keadaannya ternyata semakin memburuk. Puncaknya sekitar pukul 01:10.
“Allah
Allah Allah.”
Tangisan
dan do’a bercampur jadi satu.
Dokter jaga
mulai memeriksa keadaan ibu. Aku masih berharap pada Tuhan. Aku masih berharap
pada keajaiban. Aku masih berharap padanya, Ibu.
“Maaf, Ibu
sudah tidak bisa diselamatkan lagi.”
Deg !
Tak ada
yang bergerak. Tak ada yang berbicara.
“Setelah
ini suster akan kesini. Saya turut berduka. Semoga beliau tenang disana.”
Jadi ibu memang sudah pulang?
Jadi ibu benar-benar meninggalkan kami?
Satu
per satu dari kami; aku, ayah, dan saudara laki-laki ibu mulai keluar dari kamar
rawat itu.
Ayah?
Ayah menangis. Ayah menjadi rapuh. Begitu sakit melihatnya seperti itu.
Tuhan, kuatkan kami. Ikhlaskan
kami menerima kepulangannya.
Adik
ibu? Sama seperti kami, begitu terluka.
Sedangkan
aku? Tak berbeda dengan ayah dan adik ibu. Aku juga menangis. Aku merasa
kehilangan. Aku juga terluka, apalagi setelah melihat ayah.
Tuhan, aku tahu. Semuanya akan
kembali padaMu. Kamu pencipta dari kami. Tentunya kami akan kembali ke
penciptanya. Tuhan, kami begitu menyayanginya, kami begitu mencintai dan
mengasihinya. Semoga dia tenang disana. Semoga ini yang terbaik untuk kami dan
untuknya. Terima kasih Kau pernah membawanya untuk berada di samping kami.
Selagi
mampu untuk tersenyum, berikan senyum terbaikmu untuknya. Selagi masih mampu
untuk menyapa, sapalah dia dengan kasihmu. Selagi masih mampu menuruti apa yg
dia inginkan, turuti keinginannya. Sebelum waktunya terlambat. Sebelum salah
satu diantara kita pulang terlebih dahulu.
11
bulan meninggalnya malaikat terbaik yang hadir dalam kehidupanku.
Semoga
nanti kita bertemu lagi di SurgaNya.
Salam
rindu untukmu, Ibu.
Ya Alloh :')
BalasHapusKenapa hap? :)
BalasHapusDear Yunika,
BalasHapusI know kita nggak kenal satu sama lain, but same stories saya juga sedang down sekali menunggu dan berdoa untuk ibu yg terkena kanker usus, berusaha menguatkan diri. Luar biasa cintamu terhadap ibu, ibundamu pasti bahagia sekali punya anak sepertimu :)
amin mbak. terima kasih lagi dan tetep tabah. semoga cerita-cerita saya bermanfaat untuk orang lain. lekas sembuh untuk ibunya. aamiin
BalasHapus