Laman

Minggu, 23 Juni 2013

11 Bulan

Selamat malam malaikat cantik yang pernah menemani kehidupanku selama 19 tahun. Apa kabar disana? Masih bisa melihat kami tersenyum? Ku harap begitu.

Aku ingin mengenangmu lewat barisan kata ini. Mengenang malam itu, 23 Juni 2012. Malaikat tahu? Aku tak akan melupakan detik-detik itu.

Malam sebelumnya, 22 Juni 2012 aku menginap di Rumah Sakit Darmo. Menemani dan menjaganya. Sering kali dia terbangun, terbatuk-batuk karena darah kental yang bersarang di mulutnya. Hidungnya pun tak pernah hilang dari tetesan-tetesan darah. Jadi terpaksa hidungnya harus disumbat dengan kain kasa. Begitu menyiksa sepertinya.

Esok paginya aku pulang. Bergantian dengan adik ibu untuk menjaganya. Tapi kali ini ada yang berbeda.

“Nanti kamu jaga lagi kan?”

“Loh, kan sudah dari kemarin.” Sebenarnya aku ingin menjaganya, tapi aku tipikal orang yang tidak tega melihar orang sakit.

Sebelumnya aku diberi tugas oleh kakak ipar ibu. Membeli bayam merah kemudian bayam itu dijadikan jus. Mungkin itu bisa memberi dampak positif untuknya, Ibu.

Sore harinya aku berkeliling mencari bayam merah. Cukup sulit memang. Berbagai supermarket banyak yang tidak mempunyai sayuran berwarna merah itu. Mungkin kebetulan sayurnya habis, pikirku.

Setelah mencari bayam tersebut yang akhirnya bisa ku dapatkan, aku memilih untuk tidak pulang dulu. Mengisi perut lebih baik daripada nanti sakit dan tidak bisa membantunya serta menemaninya di Rumah Sakit.

Nasi bakar. Aku masih ingat nasi apa yang ku pesan dengan sahabatku. Dia, salah satu sahabat yang menemani dan memberiku semangat terlebih saat aku berada di titik terakhir seperti tanggal 23 Juni 2012.

Bip…

Sebuah pesan singkat dari salah satu saudaraku.

Kamu jemput tante. Cepet ke rumah sakit.

Ada apa? Wajahku mulai pucat. Makanan yang sudah aku pesan sudah tak bisa memikat hati.

Bip.. Bip.. Bip

“Kamu jemput tante sekarang!”

“Ada apa? Kenapa tiba-tiba gini?”

“Nanti tante certain. Sekarang kamu cepet ke rumah tante.”

Aku dan sahabatku segera membayar makanan dan minuman yang kami pesan. Di jalan aku sudah tak bisa berpikir jernih. Motor yang ku kendalikan berkecepatan tinggi dan  bonus dari semua itu, aku hampir menabrak beberapa kendaraan lain.

“Waktu ayahmu jaga Ibu, Ibu sempat ngomong dengan orang lain. Tertawa dengan orang lain. Ayahmu nangis.”

Deg! Apa dia yang jemput Ibu?

“Nak, kamu ikhlaskan Ibu ya. Mungkin dengan begitu jalannya akan lebih mudah.”

Apa iya aku sudah berani mengikhlaskannya?

“Tante gak tega lihat Ibu kayak gini. Jalan satu-satunya, kita hanya perlu mengikhlaskannya. Cuma itu.”

Mungkin.

Aku masih berdebat dengan hati dan otakku. Apa aku harus mengikhlaskannya? Apa aku rela membiarkannya pulang? Tapi bukankah sejatinya setiap manusia akan pulang? Dan kembali ke satu tempat?

Tuhan, jika ini memang terbaik. Silakan jemput Ibuku. Mungkin dengan demikian beliau akan lebih tenang. Juga mungkin akan lebih baik. Untuknya dan untuk kami.

Memasuki kamarnya, aku berusaha menegarkan diri. Ibu? bu tersenyum melihat kedatangan kami. Aku berusaha tersenyum.

“Mbak, hubungi om-om mu yang di Jember sama Madiun ya! Suruh kesini sekarang. Ibu pengen ngomong sesuatu.”

Tuhan, apa ini waktunya?

Dalam diam aku mengambil ponsel. Berbagai pemikiran mulai berkecamuk.

“Om, tolong ke Surabaya sekarang juga. Ibu pengen ngomong sesuatu.” Kalimat sama yang aku utarakan untuk kedua kakak Ibu.

Mereka langsung berangkat ke Surabaya. Sepertinya mereka juga mempunyai firasat sepertiku. Semoga ini hanya firasat.

20:00 WIB

Ibu. Tubuhnya mulai kejang-kejang. Hingga akhirnya dia tak sadarkan diri.

Satu orang pun yang berada di ruangan itu tak ada yang tenang.

“Nak, kamu bawa Yaasin kan?

“Gak bawa tante. Aku gak bawa tas. Coba aku pinjem ke suster.”

Ibu, maafkan aku. Tuhan, aku sudah siap jika ini yang terbaik untuk kami.

“Suster punya Yaasin? Atau Al-Quran?”

“Coba suster cariin ya, Mbak.”

Suster-suster disini sangat baik. Begitu dekat dengan keluarga pasien.

“Gak ada, Mbak. Sudah dipindahkan semuanya. Maaf ya.”

“Iya. Terimakasih, Suster. Maaf merepotkan.”

Ah, iya. Aku bisa makek ponsel Ibu.”

Beberapa jam kemudian, kami bergantian membacakan do’a dan cerita di dekat telinganya. Mungkin dengan begitu dia akan mendengar, terbangun, dan sehat kembali. Itu harapan kami.

Di sela-sela do’a yang keluar dari mulut kami, ibu meneteskan air mata dalam diamnya. Matanya tertutup, tangannya pun tak memberikan isyarat apapun, apalagi terbangun.

Apa dia mendengar do’a kami Tuhan?

Semakin lama keadaannya ternyata semakin memburuk. Puncaknya sekitar pukul 01:10.

“Allah Allah Allah.”

Tangisan dan do’a bercampur jadi satu.

Dokter jaga mulai memeriksa keadaan ibu. Aku masih berharap pada Tuhan. Aku masih berharap pada keajaiban. Aku masih berharap padanya, Ibu.

“Maaf, Ibu sudah tidak bisa diselamatkan lagi.”

Deg !

Tak ada yang bergerak. Tak ada yang berbicara.

“Setelah ini suster akan kesini. Saya turut berduka. Semoga beliau tenang disana.”

Jadi ibu memang sudah pulang? Jadi ibu benar-benar meninggalkan kami?

Satu per satu dari kami; aku, ayah, dan saudara laki-laki ibu mulai keluar dari kamar rawat itu.

Ayah? Ayah menangis. Ayah menjadi rapuh. Begitu sakit melihatnya seperti itu.

Tuhan, kuatkan kami. Ikhlaskan kami menerima kepulangannya.

Adik ibu? Sama seperti kami, begitu terluka.

Sedangkan aku? Tak berbeda dengan ayah dan adik ibu. Aku juga menangis. Aku merasa kehilangan. Aku juga terluka, apalagi setelah melihat ayah.

Tuhan, aku tahu. Semuanya akan kembali padaMu. Kamu pencipta dari kami. Tentunya kami akan kembali ke penciptanya. Tuhan, kami begitu menyayanginya, kami begitu mencintai dan mengasihinya. Semoga dia tenang disana. Semoga ini yang terbaik untuk kami dan untuknya. Terima kasih Kau pernah membawanya untuk berada di samping kami.

Selagi mampu untuk tersenyum, berikan senyum terbaikmu untuknya. Selagi masih mampu untuk menyapa, sapalah dia dengan kasihmu. Selagi masih mampu menuruti apa yg dia inginkan, turuti keinginannya. Sebelum waktunya terlambat. Sebelum salah satu diantara kita pulang terlebih dahulu.

11 bulan meninggalnya malaikat terbaik yang hadir dalam kehidupanku.
Semoga nanti kita bertemu lagi di SurgaNya.

Salam rindu untukmu, Ibu.

4 komentar:

  1. Dear Yunika,
    I know kita nggak kenal satu sama lain, but same stories saya juga sedang down sekali menunggu dan berdoa untuk ibu yg terkena kanker usus, berusaha menguatkan diri. Luar biasa cintamu terhadap ibu, ibundamu pasti bahagia sekali punya anak sepertimu :)

    BalasHapus
  2. amin mbak. terima kasih lagi dan tetep tabah. semoga cerita-cerita saya bermanfaat untuk orang lain. lekas sembuh untuk ibunya. aamiin

    BalasHapus

Tinggalkan jejak sesuai cerita diatas. Semoga bermanfaat.

And thanks for your visiting! :)