Laman

Sabtu, 26 Oktober 2013

Merangkulmu Semampuku

“Gischa begitu baik. Dia manis. Sederhana tapi daya tariknya tak dapat tertutupi begitu saja,” paparnya penuh dengan kebahagiaan yang terpancar dari matanya.

Ada kesakitan saat perlahan kamu membeberkan semua hal tentangnya. Ada kesakitan saat kamu memujanya, terlebih saat kamu menyebut namanya. Bukan aku tapi Gischa . Mengertikah kamu dengan rasaku? Mungkin sebaiknya aku memprioritaskan kamu dibanding aku. Sebaiknya aku mendengarkan segala celotehmu walau bukan tentang aku. Dengan begitu setidaknya bisa disebut aku selalu ada untuk kamu, walau mungkin belum bisa disebut kamu ada untuk aku.

Sebisa mungkin aku membiarkan kesakitan menggerogoti jiwaku, bukan kamu. Biarlah luka tertanam bahkan tumbuh dengan jelas pada rasa yang sudah lama tumbuh terhadap kamu. Biarlah kamu bercerita tentangnya, setidaknya dengan itu aku bisa melihat kamu tersenyum, tertawa, terharu, bahkan memuja perempuan itu. Ya, perempuan yang ada disana. Bukan disebelahmu. Bukan aku.


“Sesampai di kampus, aku tak langsung masuk kelas. Aku menunggunya terlebih dulu. Melihat dia berjalan, memegang novel yang setiap hari dia bawa kemanapun dengan cover yang berbeda, melihat dia membaca novel sambil berjalan bahkan saat dia hampir menabrak mahasiswa lain karena kebiasaannya itu. Sederhana bukan? Tapi tetap saja tak menghilangkan kata menawan yang selalu melekat dalam dirinya.”

Rinov masih tersenyum. Dia begitu bahagia.

Tuhan, jangan Kau hilangkan senyuman itu dari bibirnya. Biarkan aku sakit tapi tolong jangan biarkan dia tersakiti.

Biarkan dia bahagia dengan cerita-ceritanya. Biarkan dia memuja Gischa. Biarkan dia menikmati setiap hal-hal sederhana yang membuatnya tersenyum. Biarkan.

Aku masih mencoba menguatkan diri, meyakinkan diri bahwa aku kuat meski rasa sakit tak akan pergi dari hati.

“Tapi ketahuilah, semenarik apapun Gischa, secantik apapun dia, sesederhana apapun juga, tetap ada yang lebih dari dia.”

Aku menatap dalam ke arah matanya. Mempertanyakan apa maksud dari kalimatnya.

“Kamu.”

Dia tersenyum. Senyumnya lebih bahagia dibanding saat dia menyebut nama Gischa. Aku masih tak percaya. Aku masih terdiam tapi mataku masih menatap ke matanya. Menguncinya pada satu titik. Sampai aku tersadar saat dia memelukku. Sangat erat. Hingga aku meneteskan air mata. Ternyata dia mengetahui rasaku, tanpa perlu ku jelaskan.

Aku tahu, bahagia itu sangat sederhana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan jejak sesuai cerita diatas. Semoga bermanfaat.

And thanks for your visiting! :)