“Gischa begitu baik. Dia manis.
Sederhana tapi daya tariknya tak dapat tertutupi begitu saja,” paparnya penuh
dengan kebahagiaan yang terpancar dari matanya.
Ada kesakitan saat perlahan
kamu membeberkan semua hal tentangnya. Ada kesakitan saat kamu memujanya,
terlebih saat kamu menyebut namanya. Bukan aku tapi Gischa . Mengertikah kamu
dengan rasaku? Mungkin sebaiknya aku memprioritaskan kamu dibanding aku. Sebaiknya
aku mendengarkan segala celotehmu walau bukan tentang aku. Dengan begitu
setidaknya bisa disebut aku selalu ada untuk kamu, walau mungkin belum bisa
disebut kamu ada untuk aku.
Sebisa mungkin aku
membiarkan kesakitan menggerogoti jiwaku, bukan kamu. Biarlah luka tertanam
bahkan tumbuh dengan jelas pada rasa yang sudah lama tumbuh terhadap kamu. Biarlah
kamu bercerita tentangnya, setidaknya dengan itu aku bisa melihat kamu
tersenyum, tertawa, terharu, bahkan memuja perempuan itu. Ya, perempuan yang
ada disana. Bukan disebelahmu. Bukan aku.
“Sesampai di kampus, aku tak langsung masuk kelas. Aku menunggunya terlebih dulu. Melihat dia berjalan, memegang novel yang setiap hari dia bawa kemanapun dengan cover yang berbeda, melihat dia membaca novel sambil berjalan bahkan saat dia hampir menabrak mahasiswa lain karena kebiasaannya itu. Sederhana bukan? Tapi tetap saja tak menghilangkan kata menawan yang selalu melekat dalam dirinya.”
Rinov masih tersenyum. Dia begitu
bahagia.
Tuhan, jangan Kau hilangkan
senyuman itu dari bibirnya. Biarkan aku sakit tapi tolong jangan biarkan dia
tersakiti.
Biarkan dia bahagia dengan
cerita-ceritanya. Biarkan dia memuja Gischa. Biarkan dia menikmati setiap
hal-hal sederhana yang membuatnya tersenyum. Biarkan.
Aku masih mencoba menguatkan
diri, meyakinkan diri bahwa aku kuat meski rasa sakit tak akan pergi dari hati.
“Tapi ketahuilah, semenarik
apapun Gischa, secantik apapun dia, sesederhana apapun juga, tetap ada yang
lebih dari dia.”
Aku menatap dalam ke arah
matanya. Mempertanyakan apa maksud dari kalimatnya.
“Kamu.”
Dia tersenyum. Senyumnya
lebih bahagia dibanding saat dia menyebut nama Gischa. Aku masih tak percaya. Aku
masih terdiam tapi mataku masih menatap ke matanya. Menguncinya pada satu
titik. Sampai aku tersadar saat dia memelukku. Sangat erat. Hingga aku
meneteskan air mata. Ternyata dia mengetahui rasaku, tanpa perlu ku jelaskan.
Aku tahu, bahagia itu sangat
sederhana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan jejak sesuai cerita diatas. Semoga bermanfaat.
And thanks for your visiting! :)