Laman

Senin, 13 April 2015

Namaku Sepi

Jepretan Sendiri

Aku enggan kembali. Aku tak mau pergi dari kenyamanan. Aku ingin menetap. Aku malas untuk maju atau mundur. Aku ingin di sini. Bersama dia, seseorang yang telah lama terbelenggu akan diriku. Melihatnya, aku tak mau pergi. Karena jika aku pergi, dia pasti akan sendiri. Tak ada yang menjaga. Tak ada yang menemani.

Kau tahu? Ia suka sekali menunggu. Entah konsep apa yang ada dalam otaknya sehingga membuatnya menyukai hal yang menyebalkan bagi kebanyakan orang itu. Mungkin otaknya sedang sekarat atau kesemutan. Sehingga sulit untuk dipergunakan secara normal. Atau mungkin dia malah telah kehilangan otaknya? Entahlah.


Melihatnya menunggu membuatku ingin mengiris hati. Biarlah sakit sekalian. Biar tak setengah-setengah. Biar kepedihan itu sempurna dan tak menemukan kesembuhan. Tak peduli jika kesakitan itu seperti luka bertabur garam. Tak peduli pula jika luka itu seperti sayatan yang tak berujung.

Setiap malam dia selalu bertemu dengan lelaki yang ia tunggu. Temu yang menampung mereka adalah do’a tak berkesudahan. Dia pernah bercerita padaku kalau ia nyaman ketika melafalkan namanya dalam do’a. Sebab dengan itu dia tak menemukan penolakan. Pun dia dapat memeluknya kapanpun ia mau. Pelukan do’a yang tak pernah mengenal konsep jarak. Dekat atau jauh tak jadi persoalan. Mungkin itu konsep menunggu yang selalu ia dewakan.

Ketika dia tertidur, aku suka melayang membunuh jarak untuk menemui lelaki. Dari pertemuan sembunyi-sembunyi setiap kali dia terlelap, aku menemukan beberapa kenyataan. Jika dia mendengar kenyataan itu, mungkin dalam beberapa saat dia akan merenung. Akan diam dan berpikir, “Apa yang salah denganku?”. Kerap kali itu terjadi dan aku selalu mengingatkan bahwa tak ada kesalahan yang telah dia perbuat. “Dia lelaki bodoh nan tolol.” Ucapku kala itu. Bagaimana aku tak menyebutnya lelaki bodoh jika hampir setiap malam selalu ada wanita yang mengucap namanya, memeluknya lewat do’a dan dengan mudahnya dia tak memedulikan itu? Bagaimana mungkin dia menanti bahu yang telah dimiliki lelaki lain padahal di dekatnya sudah ada bahu kosong yang mau menopangnya? Bodoh, bukan?


Namaku Sepi. Aku akan tetap di sini. Menemaninya bermalam berselimut do’a untuk lelaki tolol itu.

3 komentar:

Tinggalkan jejak sesuai cerita diatas. Semoga bermanfaat.

And thanks for your visiting! :)