Laman

Minggu, 21 Desember 2014

Surat Untuk Ibu

Hujan masih menggelayut manja pada langit. Dia tak ingin bergerak turun padahal para penanti sudah menunggunya. Entah apa yang membuatnya enggan menyapa mereka. Aku masih sepertinya; hujan. Aku masih ingin menggelayut manja kepadanya. Pada wanita cantik yang melahirkanku puluhan tahun yang lalu. Dari daun yang menunggu sapa embun hingga matahari yang bersembunyi di balik punggung belahan langit bagian lain. Aku ingin bermanja padamu sepanjang hari, sepanjang usiaku, tanpa henti. Seperti kasihmu, kasih sepanjang masamu, Ibu. Semandiri-mandirinya anakmu, kami tetap membutuhkanmu. Seperti yang kamu tahu, Ibu.

"Kak, ibu besok berangkat jam 6 pagi. Anterin ya."

"Iya."

***

"Kak, besok anterin ibu lagi, ya?"

"Hm."

"Mau apa enggak, kak? Kalau gak mau bilang aja. Ibu berangkat sendiri aja."

"Iya, iya, Bu. Aku anterin!"

***



Ibu, aku tahu, aku memiliki banyak kesalahan terhadapmu. Aku sering membentakmu tanpa alasan. Sering kali memperlakukanmu kurang sopan. Sering kali juga tak menuruti perintah yang kau ucapkan. Tak menuruti kemauan yang kau inginkan. Mungkin itu penyebab kau selalu mengiyakan apa yang aku inginkan. Beribu kali maaf sepertinya tak cukup untuk menghapus semua kesalahan dan ketidaksopanan yang sudah aku ciptakan. Ibu, aku menyesal. Masih pantaskah aku untukmu?

Ibu, tahukah kamu? Aku selalu menunggu pagi. Sebab pagi adalah temu. Karena pagi, aku menemukan sapa hangatmu. Sapa pagi penuh senyum dan ketegasan untuk anak-anakmu. Aku suka pagi, Bu. Aku suka pagi karenamu. Karena aku menemukan semua kebaikan dari ucapan dan tingkah polah yang kau contohkan. Setiap kali kau membuka pintu kamarku, aku selalu terbangun walaupun ketika itu aku masih tidur. Aku merindukan itu, Ibu.

Ibu, selain pagi, aku juga menyukai minggu. Kenapa aku menyukai minggu, Bu? Sebab di sana aku menemukan waktu yang banyak untuk kita. Entah itu memasak, berbelanja, bersih-bersih rumah ataupun hal sederhana yang lain. Hal-hal yang sering kita lakukan di minggu pagi hingga minggu sore bahkan malam. Selain itu, tiap kali minggu datang, biasanya kau mengajak kami jalan-jalan ke luar kota sekedar menikmati udara atau wisata kuliner bareng keluarga.

Bu, masih ingatkah 3 tahun yang lalu aku pernah meletakkan setangkai bunga mawar merah dan sepucuk surat? Masih ingat apa saja isi dari surat itu, Bu? Kadang aku tertawa sendiri mengingat semua itu. Aku tak berani mengungkapkan sekedar kata manis untukmu secara langsung. Tapi lewat tulisan usang itu, aku mampu mengatakannya dengan baik. Memalukan sekali bukan, Bu? Beginilah, Bu. Aku tak pandai mengungkapkan perasaan bahkan jika itu terhadapmu. Surat dan setangkai mawar merah itu adalah ucapan kasih sayang dariku yang merupakan kado kecil Hari Ibu. Ingatkah kau, Ibu? Ingatkah dengan semua isi yang ku tulisakan di atas kertas putih itu?

Bu, esok tanggal 22 Desember. Tanggal yang sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Tanggal yang sama untuk memperingati hari ibu. Tanggal terbaik dan tepat untuk mengungkapkan rasa terhadap ibu yang kita cintai. Walaupun sebenarnya tanggal-tanggal yang lain pun tak kalah tepatnya untuk mencintaimu. Walaupun sebenarnya kasihku terhadapmu tak berdasarkan tanggal-tanggal itu. Sebab kasihku terhadapmu utuh, seluruh dan bahkan sampai saat ini tak pernah luruh.

Bedanya, saat aku menulis surat ini yang kuperuntukkan padamu, aku hanya dapat menulisnya tanpa bisa kau baca. Aku menulisnya penuh dengan tangis dan lara. Tak seperti surat yang pernah ku tuliskan padamu beberapa tahun silam. Kini aku tak lagi bisa meletakkan setangkai bunga mawar merah di atas tempat tidurmu. Kini aku hanya bisa meletakkan setangkai mawar merah di samping nisanmu. Kini aku hanya bisa menangis tanpa bisa memelukmu, Bu. Sungguh, aku merindukan pelukan hangat yang dulu pernah kau berikan. Aku ingin mengecup keningmu kembali seperti beberapa waktu yang lalu. Bu, masih ingatkah? Sebelum jasad-mu dimandikan, aku mampu mencium keningmu di hadapan banyak orang tanpa tangis. Dan kau ingat, Bu? Kau tersenyum. Kau tersenyum untuk kami, Bu. Senyuman terakhir yang kau berikan untuk kami, satu pagi di bulan juli tanggal 24. Ramadhan indah yang membawamu kembali.

Ibu, aku selalu berharap agar kita dapat kembali berkumpul. Semoga surga Allah menampung kita untuk hidup selamanya. Dan kami dapat memelukmu kembali dari dekat. Sangat dekat.

Selamat hari ibu, Bu. Kini tak ada lagi sepucuk surat dan setangkai bunga di atas tempat tidurmu. Tak ada lagi kejutan kecil dariku dan adik. Semoga do'a yang selalu kami sampaikan dalam sujud akan tersampaikan padamu.

Kami merindukanmu. Sangat merindukanmu. Sampai berjumpa lagi, Ibu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan jejak sesuai cerita diatas. Semoga bermanfaat.

And thanks for your visiting! :)