Laman

Jumat, 02 November 2012

Untuk Beliau, Pendamping Almh. Ibu

Tegas. Simple. Berprinsip. Mandiri. Baik. Penyayang. Ya, beliau, my hero. Pejuang hidup dalam keluarga saya selain almarhumah ibu. Orang yang sampai saat ini masih bersama saya dan adik saya, mendampingi kami dalam suka ataupun duka. Beliau, yang selalu mengatakan iya atau tidak dalam setiap perbuatan kami. Beliau, yang selalu melarang kami yang sekiranya hal yang ingin kami lakukan tidak seperti yang beliau harapkan. Sejak saat itu, 24 Juli 2012, beliau lebih menjaga kami karena hanya kami-lah yang beliau punya di rumah ini.

Disaat saya akan berangkat ke kampus, yang tak pernah beliau lewatkan adalah "hati-hati di jalan. Makannya jangan telat." Padahal dulu beliau tidak seperti ini, tidak ada perhatian ekstra seperti sekarang. Beliau juga tidak pernah mengeluh pada kami ataupun orang lain. Kami harus mencontoh itu, seharusnya. Beliau selalu bangun pagi, mengeluarkan mobil dan tak jarang juga memasakkan kami sarapan dan selalu membuatkan kami teh hangat. Kesibukan saya di kampus membuat saya tidak ada waktu lebih untuk memasakkan makanan untuk bapak dan adik.

Sayangnya, walau sampai saat ini bapak seperti itu terhadap saya, saya masih belum bisa membalas semua kebaikan-kebaikannya. Mengeluh, mengeluh, dan mengeluh. Sepertinya, satu kata itu yang sering saya berikan untuk bapak. Sekitar 18 tahun yang lalu, saya hadir di samping bapak, ibu, dan saudara-saudara saya namun saya baru 6 tahun satu rumah dengan orang tua. Hubungan kami tidak seperti hubungan ayah dan anak pada umumnya. Sepertinya masih ada sekat diantara kami, mungkin karena kami baru satu rumah beberapa tahun ini. Padahal, saya ingin seperti mereka, bergelayut manja pada bapak. Tetapi sepertinya saya tak bisa seperti itu. Mungkin tipe saya bukan anak yang membutuhkan 'kemanjaan' dari orang tua.

Sekitar tanggal 23 Juli 2012 kemarin, sekitar jam 7 malam, di paviliun VIII RS darmo Surabaya, kali pertama saya dipeluk bapak saat saya sudah dewasa. Saat itu kami sedang berbincang dengan beberapa suster di salah satu rumah sakit tertua tersebut.

"Keadaan ibu sudah mulai menurun."

Hening, saya tetap mencoba menguatkan hati. Sekuat mungkin.

"Kami sudah berusaha. Profesor juga sudah berusaha. Kami berusaha semampu kami, apapun untuk kesehatan ibu sudah kami usahakan semaksimal mungkin."

Masih sama, hening. Namun detik berikutnya, ada isakan kecil dari bibir saya. Saya memandang bapak dan saudara saya. Mereka juga mencoba menguatkan diri masing-masing. Saya mencoba melihat suster berseragam hijau yang ada di depan saya, mereka juga mencoba menguatkan diri. Mereka sudah merasa dekat dengan ibu. Mereka menganggap ibu sudah seperti teman lama mereka yang baru saja mereka temui. Mereka bangga dan bahagia dengan perjuangan ibu yang tak pernah menunjukkan kesakitannya di depan suster ataupun Profesor. Setiap ada kunjungan suster dan Profesor, ibu selalu mencoba tersenyum dan menunjukkan bahwa beliau masih kuat, bahwa beliau masih mampu untuk hidup. Untuk anak-anaknya.

"Mbak, adiknya sekarang dimana? Mungkin ibu butuh bertemu adik. Mungkin bisa menambah semangat ibu. Mbak Nika bisa bawa adik kesini kalau mbak Nika bersedia."

"Di rumah suster. Biar adiknya di rumah. Adiknya terlalu kecil untuk menghadapi hal seberat ini." Potong bapak sebelum saya menjawab.

Bapak memang benar. Kasian adik kalau harus tahu hal ini. Dia masih kecil, dia masih belum tahu arti akan kerasnya kehidupan.

"Yang terpenting sekarang hanya do'a dari bapak, mbak, dan saudara-saudara yang lain. Kami sudah mengikuti prosedur dari Profesor dan keluarga juga sudah menyetujui semua tindakan yang kami lakukan. Semoga semuanya bisa membuahkan hasil yang terbaik. Kita hanya bisa mengharapkan mukjizat dari Allah untuk kesembuhan ibu."

Setelah itu, saya tak mampu untuk berkata. Saya juga tak mampu berdiri dari kursi kayu yang saya duduki. Beberapa suster mulai memperhatikan saya. Saya tak sempat menghiraukan pandangan mereka. Badan saya mulai bergetar, ada suara-suara yang tak saya harapkan mampir di bibir saya. Kedua kaki rasanya sudah tidak mampu untuk menopang badan saya. Lemas. Itu yang saya rasakan. Bapak dan saudara saya meraih tangan dan pundak saya. Meraka berusaha menguatkan kami padahal keadaan mereka sama seperti saya, terpuruk.

Singkat cerita, kami ditinggalkan orang tercantik dalam keluarga kami. (cerita bersangkutan bisa dilihat di label: my mother my hero) Ibu. Ibu sudah kembali dalam pelukan  Allah. Beliau telah menunggu kami di pintu surga. Ya, ternyata beliau menunggu kami, bukan meninggalkan kami. Ternyata seperti itu.

Mengetahui pulangnya ibu, bapak menangis di tempat. Badannya bergetar hebat. Sangat hebat! Saya masih belum yakin orang secuek bapak mampu menangis sampai seperti itu. Saat itu saya masih terdiam dalam pijakan saya. Saya masih belum percaya. Lambat laun, derai air mata bapak tidak berkurang, justru bertambah. Kali pertama saya melihat bapak menangis tanggal 24 Juli 2012 di RS Darmo, Surabaya. Saya hanya mampu memegang tangan beliau. Lembut. Hanya mampu memegang secara lembut. Beliau dalam rengkuhan kakak iparnya. Beliau menangis, menangis, dan menangis.

"Lahaulawalakuatailabillah." Hanya kata itu yang mampu diucapkan oleh bapak.

Sekitar jam 04:30 WIB, kami pulang menggunakan ambulance. Bapak; ketiga saudara ibu yang jauh-jauh datang dari Ponorogo, Madiun, dan Jember; dan saya. Kami berlima menemani jenazah ibu sebelum beliau ditidurkan bersama bumi. Saudara kami berdatangan, mulai dari Ponorogo, Madiun, Kediri, Surabaya, PT HM Sampoerna, dll. Saat mereka berdatangan, bapak masih dan terus menangis. Sepertinya saat itu bapak masih belum ikhlas menerima kepulangan ibu, mengingat ibu adalah pendamping hidupnya.

Sejak saat itu, saya tak ingin lagi melihat bapak menangis. Rasanya kepergian ibu sudah cukup untuk membuat beliau menangis. Tak perlu yang lain lagi.



teruntuk bapak dan alm.ibu
 juga untuk Profesor Budi Warsono
dan suster-suster RS Darmo Surabaya yang sudah merawat ibu saya


4 komentar:

  1. Dear Mba Bestari.
    Saya juga saat ini sedang bingung harus berbuat apa, ibu saya sudah tidak lagi dirawat di RS, karena sudah stadium 4. Ibu dipulangkan sejak minggu kemarin. Semoga mba dan keluarga senantiasa dilimpahi berkahNya serta ibu ditempatkan di tempat terindah di sisiNya,amin :) Terima kasih sudah berbagi kisah.

    BalasHapus
  2. amin ya robbal alamin. terima kasih sebelumnya. semoga senantiasa diberi ketabahan dan kesabaran oleh Allah. semoga ibuny diberi takdir terbaik oleh Allah juga. Aamiin:)yang tabah ya mbak

    BalasHapus

Tinggalkan jejak sesuai cerita diatas. Semoga bermanfaat.

And thanks for your visiting! :)