Selamat
tengah malam, kepada kamu yang baru saja saya ketahui. Kepada kamu yang baru
saja saya kenal. Kepada kamu yang baru saja saya temui secara tak sengaja. Kepada
kamu yang baru saja membuat saya terpikat pada temu yang pertama.
Opini
pertama pada temu pagi kala itu, kamu begitu menghangatkan. Kamu begitu sopan. Kamu
begitu bersahaja. Dan tentunya kamu begitu sabar. Subhanallah, dengan baik hati
Tuhan menyematkan namamu dalam rentetan cerita perjalanan hidup saya. Kali ini Tuhan
berbaik hati (lagi). Dia menyematkan (sedikit) cerita bersamamu dalam
keseharian saya. Sederhana namun membahagiakan.
Lambat
laun, diam-diam saya mengamati kamu. Mencari tahu pada ketidaktahuan saya. Mencari
tahu pada keterbatasan saya. Pada ketakberdayaan saya. Mencari dan terus
mencari. Apa saja, mengenai kamu.
Esoknya,
tanpa diduga yang kata kamu libur, ternyata saya melihatmu. Bukan ilusi. Degup kencang,
bahagia, dan malu-malu bercampur menjadi satu. Benarkah itu kamu?
Ah,
Tuan, begitu lembutnya kamu sehingga membuat saya terpikat. Membuat letupan-letupan
kecil yang telah lama hilang muncul kembali. Tuan, sebenarnya sejak senja
gerimis di tepian kota itu kamu sudah merenggut sebagian dari sesuatu yang
telah lama ingin saya bagikan. Disela-sela kesibukanmu yang maha dahsyat, disela-sela
pekerjaan yang tak tahu diri padahal Tuannya ingin istirahat, kamu tak ingin
menduakan-Nya. Kamu tetap ingin melantukan asma-Nya di manapun kamu berada.
Sungguh, Tuan, hal seperti itu membuat saya benar-benar terpikat. Letupan-letupan
itu semakin membakar apapun yang ada di sekitarnya. Subhanallah.
Tuan,
saya ingin sedikit bertanya. Berharap kamu mampu menjawab. Entah menyampaikan
jawab itu melalui luluhan air di pagi hari dari daun hijau, panas siang hari
yang begitu menyengat, senja yang begitu memikat, ataupun pada malam yang amat
pekat. Silakan kamu pilih, Tuan. Saya menunggu jawabmu.
Begini,
Tuan.
Katanya,
jatuh cinta itu berjuang.
Katanya,
jatuh cinta itu kegigihan.
Katanya,
jatuh cinta itu harus dikejar.
Katanya,
jatuh cinta itu jatuh bangun.
Katanya
pula, jatuh cinta itu harus diutarakan.
Katanya
seperti itu, Tuan. Entah siapa yang berkata. Mungkin pepohonan yang mengering di
tepian jalan karena terlalu lelah untuk berjuang sehingga menjadi amat kering
dan tak layak untuk dibuat berteduh. Mungkin pepohonan yang dulunya hijau itu
tak mau merasakan apa yang telah mereka rasakan. Mungkin pula itu katanya malam.
Malam yang semakin hari semakin dingin dan tak berperi. Malam yang semakin hari
membuat tubuh mungil menggigil tak karuan. Mungkin, malam juga seperti
pepohonan yang telah lama menunggu dan tak berani untuk memperjuangkan. Mereka senasib.
Sama rasa. Tapi, Tuan. Dengarlah. Saya tak ingin seperti mereka yang menunggu
sampai mengering bahkan juga menunggu sampai membuat orang lain kesakitan. Saya
tak mau seperti itu, Tuan. Sungguh saya tak mau.
Maka
dari itu bantulah saya, Tuan. Bagaimana yang harus saya perbuat? Jujur saya tak
mau menutup kisah yang baru saja terbuka. Saya tunggu jawabanmu, Tuan. Walaupun
menunggu itu menyesakkan, tak apa. Saya akan meminta embun, terik, senja, dan rembulan
untuk menemani kesendirian.
Selamat menunggu, tabahkan dan kuatkan hatimu
BalasHapusTerima kasih. :D :D
HapusAwww, jatuh cinta pada pandangan pertama. Ayo berjuangng, jngan lelah menunggu! ^^
BalasHapusaiih, ada kak liony. makasih kak udah mampir :))) iya kak, gak boleh lelah hihi
HapusJatuh cinta sama mas-mas di tempat KP, bes :3 ?
BalasHapusSilakan menebak-nebak sendiri kakak :p
Hapuskatanya cinta juga buta, tuli, bisu... hehehehe
BalasHapus